“Kisah Rumah yg Sunyi
& Berantakan"
Suatu pagi, di sebuah rumah, terdengar
teriakan suara seorang ibu memberi perintah dan omelan kepada kedua anaknya.
"Ayo, cepat.. Makan jangan
lambat-lambat begitu! Buku PR-nya sudah dimasukin ke dalam tas.? Nontonnya nanti
saja kalau sudah pulang dari sekolah. Ayo anak-anak, jangan terlambat, nanti
kena hukuman lagi lho!" seru si ibu dengan nada tegas.
Tidak lama kemudian, setelah anak-anak
berangkat ke sekolah, suasana hiruk pikuk pun akhirnya terhenti. Rumah pun
menjadi sepi. Yang tertinggal hanyalah segala macam barang-barang berserakan:
mangkuk, piring-piring dan gelas-gelas kosong, kamar mandi yang kotor, tumpukan
baju bekas pakai, dan sandal yang entah ke mana pasangannya. Sambil menghela
napas, si ibu melihat sekeliling dan merasa seakan semua pekerjaan bertumpuk
telah menunggunya untuk disentuh dan dibereskan.
Tidak lama kemudian, si suami yang
bersiap-siap hendak pergi ke kantor, dengan lantang berseru, "Bu, di mana
Jasku yang berwarna hitam.? Tolong carikan, Bapak lagi buru-buru nih. Oh ya,
kaos kakinya sekalian. Sarapannya dikantor saja ya,
Makasih
Bu!"
Mendengar ucapan sang suami, dengan
cekatan si istri membantu mencarikan barang-barang yang diperlukan suaminya.
Tak lama kemudian, dengan keberangkatan suaminya, kesunyian semakin terasa.
Seisi rumah seakan lenyap dan menyisakan pekerjaan rumah yang menggunung.
Ada kepeningan dan kejenuhan yang
melanda si ibu. Dia merasa tidak bahagia karena hari demi hari dilaluinya
dengan kondisi yang nyaris sama, yakni selalu dengan beban pekerjaan rumah
menumpuk. Hal tersebut membuat semua beban yang harus dipikulnya tidak
tertanggung lagi.
Hingga suatu hari, untuk menenangkan
pikiran, ibu itu pergi menengok neneknya yang tinggal di kota sebelah. Saat
itu, ketika melihat cucunya tampak kusut, tidak terawat, dan bersedih hati,
neneknya bertanya, "Aduh, cucu nenek kok kusut begitu sih. Ada apa cucuku?
Ada yang ingin kamu keluhkan ke nenekmu ini? Ayo ceritalah unek-unekmu, nenek
siap mendengarkan."
Mendapatkan kesempatan mencurahkan
sebagian perasaannya, sambil menangis ia mengisahkan semua keluh kesah dari apa
yang dirasakannya. Di akhir cerita, dia bertanya, "Nek, apakah menikah,
bersuami dan memiliki anak-anak berarti setumpuk pekerjaan yang tidak ada
habisnya..? Sepanjang hari, bulan, tahun bahkan sepanjang masa..? Sungguh aku
lelah Nek, lahir batin. Sepertinya tidak ada lagi yang tersisa, sedikit saja
untuk diriku sendiri. Apakah Nenek juga pernah merasa seperti itu? Tolong aku,
Nek."
"Hmm.. aku mengerti perasaanmu.
Nenek akan coba bertukar pengalaman. Namun sebelumnya, cobalah ikuti apa yang
nenek perintahkan. Sekarang, cobalah pejamkan matamu. Coba bayangkan rumahmu
tertata apik, rapi, dan bersih. Apakah kamu merasa senang, lega, dan
bahagia?"
Setelah sejenak memejamkan mata dan
membayangkan apa yang diperintahkan nenek, si ibu menjawab, "Ya, Nek. Aku
bahagia berasa di tengah rumah yang apik dan resik." Sesaat, senyum simpul
terlihat menghiasi bibir yang tadinya terlihat kecut dan banyak beban.
Melihat kondisi itu, si nenek kembali
berkata, "Rumahmu kini apik dan resik, tetapi kosong. Tidak ada
anak-anakmu di dalamnya serta kasih sayang suamimu juga tak ada. Apakah kamu
mau?" Mendengar ucapan nenek, senyuman di wajah si ibu kembali menghilang.
Nenek pun melanjutkan ucapannya,
"Kini, bayangkan wajah kedua anakmu yang sedang bermain dengan gembira
sambil mengotori rumahmu. Bayangkan juga suamimu yang penuh semangat sedang
bersiap utk kerja demi menafkahi keluargamu."
Saat itulah, si ibu seolah tersadar akan
sesuatu yang selama ini membebaninya. "Oh, aku tahu, Nek. Aku tetap
memilih rumah yang berantakan tetapi dengan keluarga yang aku cintai di
dalamnya, daripada rumah yang apik tetapi kosong dan dingin. Terima kasih, Nek.
Ternyata keluargalah yang membuat rumah hangat dan mendatangkan
kegembiraan."
"Cucuku, syukurlah jika kamu telah
mengerti. Bila cinta yang mendasari kamu mengerjakan pekerjaan rumah, maka
sebenarnya itu bukanlah beban, tetapi adalah tanggung jawab kita sebagai bagian
dari sebuah keluarga. Setuju kan.?" lanjut sang nenek. Si cucu pun
mengangguk dan tersenyum gembira sambil memeluk sayang neneknya.
Kejenuhan akan rutinitas yang dikerjakan
sehari-hari, kadang membuat kita seakan terjebak di dalamnya. Kita seolah
merasa, apa yang dikerjakan justru menjadi beban tak terkira. Akibatnya, kita
akan merasa tidak bahagia. Padahal sejatinya, jika semua bisa dikerjakan dengan
penuh cinta, semua beban berat hanya akan jadi "pijakan" mencapai
kebahagiaan bersama.
Untuk itu, kepada para ibu di mana pun,
jangan merasa rendah diri karena berstatus sebagai ibu rumah tangga. Itu sebuah
tanggung jawab yang mulia! Tanpa kehadiran, cinta, dan pengabdian seorang ibu,
lalu apalah artinya sebuah rumah tangga..? Karena sesungguhnya, tidak akan ada
pemimpin sehebat apa pun di dunia ini, tanpa seorang ibu yang melahirkannya.
Tanpa seorang ibu, tidak ada siapa pun kita saat ini.
Begitu juga adanya diri kita. Jika
merasa beban sudah memberatkan, cobalah lihat sisi lain dari apa yang sedang
kita lakukan. Sebab pastinya, tak ada pekerjaan yang tak memberikan hasil
nyata.
Karena itu, lakukan semua dengan penuh
tanggung jawab dan cinta. Sebab, sesungguhnya, tidak ada pekerjaan yang terlalu
berat bila dikerjakan dengan landasan keikhlasan dan niatan mulia. Lakukan
semua dengan cinta. Berikan semua dengan kasih nyata. Maka hidup kita akan
dipenuhi rasa bahagia.
Semoga
bermanfaat..
Comments
Post a Comment