Bab I
PENDAHULUAN
Gereja Methodist Indonesia
(GMI) adalah satu-satunya gereja di Indonesia yang hadir bukan sebagai hasil pekabaran
Injil misi Belanda dan Jerman. Methodist adalah hasil pelayanan misionaris dari
Amerika yang bekerja di Malaysia dan Singapura. GMI juga satu-satunya
gereja yang keanggotaannya WNI dan asing. Kebanyakan jemaat yang ada
dimulai dari sekolah. Karena itu sekarang banyak jemaat yang juga mengkelola
sekolah. Pekabaran Injil melalui pendidikan umum dianggap cara terbaik sehingga
jemaat cepat berkembang. Inilah salah satu kekhasan lain dari
Gereja Methodist di Indonesia.
GMI berdiri sejak tahun 1905, yang dimulaii dari
Denominasi gereja: Metodisme
Jumlah wilayah pelayanan: 2 wilayah, 12 Distrik
Jumlah jemaat: 276 gereja, 248 pos pelayanan,
Jumlah anggota jemaat: 120.000 orang.
Jumlah hamba Tuhan: 232 pendeta,
Gereja Methodist Indonesia (GMI) adalah sebuah Gereja Protestan yang beraliran Methodisme atau Wesleyan. GMI adalah Gereja beraliran Methodis terbesar di Indonesia. Daerah pelayanan Gereja Methodist Indonesia meliputi hampir setengah wilayah Indonesia, dari Banda Aceh di bagian barat hingga Makasar di bagian timur.
Pelayanan yang diberikan mencakup pelayanan jasmani maupun rohani dalam bentuk pelayanan kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan. Anggota-anggota GMI terdiri dari berbagai suku bangsa dan bahasa. Kebaktian-kebaktiannya diselenggarakan dalam bahasa Indonesia, Inggris, Mandarin, Batak, dan sejumlah bahasa setempat lainnya.
Kini Gereja Methodist Indonesia menjalin hubungan erat dengan Gereja-gereja Methodist lainnya seperti United Methodist Church di Amerika Serikat dan Gereja Methodist Korea. Gereja Methodist Indonesia ditata dengan sistem episkopal, yang dipimpin oleh seorang uskup (bishop).
Daerah pelayanan GMI dibagi menjadi dua wilayah, yaitu
Wilayah I yang terdiri atas Aceh sampai Pekanbaru,dan Wilayah II yang terdiri atas Sumatera Selatan, Jawa dan Sulawesi.
Bab II
ISI
I.
PERMULAAN PELAYANAN
Pada tahun 1902, George F
Pykett, pimpinan Distrik Penang dari Konferensi Malaysia datang ke Medan.
Dia mengunjungi Medan untuk melihat kemungkinan dibukanya pos pekabaran Injil.
Saat itu belum ada misi Methodist. Di sana dia bertemu dengan beberapa
orang yang datang dari Penang, tetapi sudah lama tinggal di Medan, yang
pernah mendengar Injil melalui sekolah di Penang.
Hong Teen, seorang
Tionghoa yang pernah menjadi murid di Methodists’ Anglo Chinese School di
Penang adalah salah satu yang ditemui Pykett. Hong Teen mendirikan sebuah
sekolah di Medan. Dia meminta Pykett untuk membantu memimpin Boys’ School.
Tahun berikutnya, 1903, Pykett pindah ke Medan dan mendirikan
Boys’ School. Pykett diijinkan juga untuk mengajar Alkitab setiap
hari. Pykett juga minta bantuan dua orang guru, salah
satunya ialah Salomon Pakianathan dari Anglo Chinese School
di Penang. Pakianathan, seorang Tamil, datang ke Medan pada
bulan Mei 1905. Dia seorang guru Kristen yang baik. Sambil
mengajar, dia juga bersaksi tentang Yesus. Karena kesaksiannya
itu, beberapa kelompok PA terbentuk. Kelompok-kelompok ini
menggunakan bahasa Hokkien dan Melayu. Bilangan orang-orang yang percaya
bertambah.
Tahun 1906, Pykett yang
kembali ke Penang mengutus Ng Kuan Jiu seorang guru ke Medan. Pendeta John R.
Denyes ditetapkan menggantikan kedudukan Pdt. Pykett. Sayang
sekali, tahun itu juga Hong Teen melarang pelajaran agama Kristen
di sekolahnya itu. Karena itu Pakianathan pindah ke Palembang, Sumatera
Selatan. Sebagaimana di Medan, Pakianathan berhasil membentuk beberapa kelompok
PA Persekutuan di Medan terhenti selama 2 tahun. Tahun 1910, Khoo Chian
dan Lim Huay Gin datang ke Medan dari Singapura. Mereka mendirikan
Anglo-Chinese School dan memulai kebaktian. Juni 1912 Lim Huay Gin
menyerahkan tanggungjawabnya tentang ibadah dan sekolah kepada Pdt.
W.T. Ward. Ward menjadi misionaris pertama yang ditetapkan
untuk melayani di Medan.
Setelah bekerja selama 4
tahun, Ward membaptis 119 orang dewasa. Mereka adalah orang
Hokkien, Hakka, Canton, Haylam dan beberapa orang Batak. Pada tahun
1914 mulai melakukan penginjilan di Daerah pesisir Timur Sumatera, dan tiga
keresidenan di Sumatera Selatan, Palembang, Jambi dan Lampung.
Tahun 1917, Lamsana Lumban Tobing, seorang guru yang sebelumnya
bekerja di Bogor, melayani daerah Asahan. Orang Batak lainnya yang adalah
guru tetapi mereka melayani dalam pekabaran Injil adalah Cleopas L.
Tobing, Jethro Manulang dan David Hutabarat. Jemaat dan sekolah pertama yang
berhasil didirikan ialah di desa Bangun Dolok, kemudian di Tanjungan, Dolok
Maraja, Aek Kopas dan Bosar Sipinggan. Orang-orang Batak yang bertobat dan
percaya semakin banyak.
Di Palembang, Pakianathan
memulai Anglo-Chinese School pada 1 Mei 1909. Dia juga membuka sekolah
khusus untuk orang2 Arab. Dia tidak pernah melewatkan waktunya untuk bersaksi
tentang Kristus kepada murid-muridnya melalui pengajarannya di
sekolah. Dia memimpin ibadah Minggu dan kelompok PA.
Di
Bangka, sebuah pulau sebelah barat Sumatera, kira2 300 km dari Palembang, Pdt.
Mark Freeman diutus sebagai misionaris. Dia membuka sebuah Pos PI
dengan 10 calon anggota pada tahun 1913. Dua tahun kemudian,
berdirilah sebuah gereja dengan 16 anggota yang sudah dibaptis, 9
dewasa dan 7 anak-anak.
Dalam Konferensi Tahunan
Malaysia bulan Februari 1905, J.R. Denyes diutus ke Pulau Jawa untuk
membuka pekabaran Injil Denyes mulai tertarik melayani P. Jawa setelah dia
bertemu dengan beberapa pelajar berasal dari Jawa yang belajar
di Anglo-Chinese School-Singapura. Khoo Chiang Bee dari Penang dan
C.S.Buchanan dari Singapura diutus juga ke P. jawa. Khoo Chiang Bee
bekerja di antara orang-orang China kelahiran Jawa dan Buchanan bekerja di
Cisarua dekat Bogor . Sebuah Rumah Sakit didirikan disana (Sekarang
Rumah Sakit Paru-paru Cisarua) dengan harapan agar melalui pelayanan
kesehatan Injil dapat diberitakan di antara orang-orang Sunda Islam.
Denyes yang tinggal di
Jakarta membuka beberapa jemaat Tionghoa dan Sunda di Tanah
Abang, Pasar Senen, Welteveden, Kramat Soka dan Mangga Besar.
Jemaat-jemaat lainnya ialah di beberapa desa Pondok Gede, Kampung Sawah dan
Padurenan. Jemaat-jemaat itu kini menjadi jemaat Gereja Kristus dan GKP.
Pada tahun 1910, satu
jemaat Tionghoa didirikan dengan anggota kira-kira 17 orang. Kemudian setelah
itu Methodist English School didirikan dengan Asramanya di
Bogor (kini menjadi kampus IPB). Badan Misi Methodist membeli bangunan
besar di tengah kota untuk pertemuan-pertemuan penginjilan dan aktivitas
lainnya. Baughman mengajar beberapa orang Tionghoa dan Sunda untuk
menjadi pengkotbah. Anggota jemaat maupun murid sekolah
semakin banyak.
Misi Methodist juga
bekerja di Kalimantan Barat. Pdt. Dr. Benyamin F. West merekomen-dasikan
kepada Badan Misi Methodist di Malaysia agar daerah sepanjang Sungai Kapuas
menjadi daerah misi. Di sana pada saat itu belum ada badan misi yang
bekerja. Tahun 1891 Luering tiba di Kimanis. Dia tinggal di sana selama 9
bulan. Dia tidak membaptis seorangpun, tetapi hanya menerima
seorang saja sebagai calon anggota, yaitu pelayannya yang
orang Tionghoa.
Pada tahun 1904, pelayanan
misi dibuka kembali di Pontianak setelah beberapa tahun ditutup.
Giam Ah Chiam, seorang pengkotbah, melaporkan, bahwa banyak orang di Pontianak
dan Sambas siap untuk menerima Misi Methodist. Dr West sebagai DS
dari Distrik Singapura, pergi ke Pontianak dan Singkawang untuk mencek
berita itu. Di Singkawang dia bertemu dengan U Chim Seng, seorang sinshe
yang dulunya menjadi anggota jemaat di Bukit Martajan,
Distrik Penang.
U Chim Seng membuka toko obat. Dia selalu bersaksi tentang Kristus
kepada orang-orang yang datang membeli obat. Banyak yang berminat dengan
berita yang disampaikan. Kemudian, dia mengupah beberapa orang untuk
menjadi penjaja obat yang berkeliling dari desa ke desa. Setiap penjaja
bukan saja membawa obat-obatan, tetapi juga Alkitab dan Buku Nyanyian
Methodist. Malam hari, tukang-tukang obat ini menjadi
penginjil, yang membacakan Alkitab kepada orang-orang yang ada dan
menyanyikan beberapa lagu pujian. Hasilnya, banyak orang yang minta agar
dikirim misionari ke sana.
Pada tahun 1906
Charles M. Worthington dikirim ke Kalimantan . Dia tinggal di sana
selama tiga tahun tetapi dia harus menunggu selama dua tahun untuk
mendapatkan surat ijin. Karena itu sambil menunggu, dia membuka sekolah
di Pontianak. Seorang Tionghoa menjadi sponsor untuk sekolah ini. Tetapi
rupanya oranitu kurang jujur, sehingga Pdt. Worthington terpaksa harus membayar
gaji guru-guru dengan uangnya sendiri. Akhirnya Misi Methodist mengambil
alih sekolah ini.
Worthington kemudian
digantikan Pdt. Abel Eklund, seorang misionari yang masih muda dari
Swedia. Tahun 1912, dia menempatkan Willie Hutagalung di Bekajang. Hutagalung
memulai sekolah di Bekajang dengan 30 murid, separuhnya adalah anak-anak
Dayak. Akan tetapi sayang sekali, karena peperangan yang berlangsung saat
itudan politik pemerintah Belanda, maka sekolah itu ditutup.
Tahun 1915 sekolah ini
kembali dibuka dan segera 120 “the little jungle people” menjadi
muridnya. Tahun berikutnya sekolah ini mendapat subsidi dari pemerintah.
Kemudian Misi Methodist membuka beberapa sekolah di desa-desa lainnya, seperti
Lumar, Patengahan, Phakmengtioh, Sebalau, Sempadung dan Temu. Misi
Methodist kemudian merekrut tiga orang guru lagi dari Sumatera
(orang Batak) untuk memimpin sekolah-sekolah ini.
Pada tahun 1918 Konferensi
Missi Hindia Belanda (the Netherlands Indies Mision Conference) untuk Jawa dan
Kalimantan terbentuk. H.B Mansel ditetapkan sebagai Superintendent.
Tahun 1919 keanggotaannya terdiri dari 5 orangg Asia dan 15
misionaris. Jumlah anggota di seluruh Jawa, Kalimantan , Bangka dan
Sumatera kira-kira 900 orang. Konferensi Misi ini dibagi dalam 4 Distrik,
yaitu Distrik Jawa dengan Superintendent R.L. Archer, Distrik
Sumatera Utara dipimpin oleh Leonard Oesly, Sumatera Selatan
dipimpin oleh Mark Freeman dan Kalimantan Barat oleh C.W. Worthington.
II.
PENUTUPAN DAERAH PELAYANAN DI JAWA DAN KALIMANTAN
Tiba-tiba terjadi kejutan!
Dr. R.E. Diffendorfer, Sekretaris Eksekutif Badan Misi Methodist
datang untuk mengevaluasi Misi Methodist di Hindia Belanda. Dia menganggap
bahwa wilayah misi di Hindia Belanda terlalu luas, sehingga tidak
sebanding dengan misionaris yang ada. Dia juga memperhatikan, bahwa
daerah-daerah perkebunan di Sumatea terutama di daerah Asahan dan Simalungun
merupakan daerah terbaik untuk pekerjaan misi Methodist. Karena itu dia
memutuskan untuk menutup misi di Jawa dan Kalimantan serta hanya
memfokuskan pekerjaan di Sumatera.
Tahun 1927 pekerjaan
misi di Jawa dan Kalimantan ditutup. Tahun 1928, dalam Konferensi
Agung (General Conference) di Kansas, keputusan itu
dikukuhkan. Keluarnya pelayanan dari P. Jawa dan Kalimantan banyak
membuat orang kecewa. Mereka merasa hal itu merupakan langkah
mundur dalam pelayanan misi Methodist yang terpaksa harus mening galkan
33 Jemaat, 8 sekolah, 3 asrama, satu toko Buku dan satu Rumah
Sakit yang besar. Sumber lain menyebutkan, bahwa Dr. Diffendorfer
mendapat tekanan dari Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda
tidak menginginkan terlalu banyak misi yang bekerja di satu
daerah. Ini berarti, keputusan itu merupakan isyu politik.
Pada tanggal 25 Januari
1929, Konferensi Misi Sumatera Utara dan Konferensi Misi Hindia Belanda
bergabung menjadi Konferensi Misi Sumatera. Bishop F. Lee menjadi
pimpinan dari 1929-1949. Dia digantikan oleh Bishop Ralph S. Cusman.
Konferensi Misi Sumatera berhubungan dengan Konferensi Konferensi Pusat
Tenggara sampai 1964. Selama kurun waktu tersebut, hanya sedikit
orang Indonesia yang menduduki jabatan penting di Gereja ataupun
dalam Konferensi. Tahun 1946 Pdt. David Hutabarat dan
Pdt. Luther Hutabarat ditetapkan sebagai pimpinan-pimpinan Distrik
pertama yang pribumi. Tahun 1948, Pdt David Hutabarat dipilih sebagai
Sekretaris Konferensi Tahunan Misi Sumatera di Singapura.
III.
GMI MENJADI OTONOM
Karena situasi
politik antara Indonesia dengan Malaysia/Singapura tidak
baik pada tahun 1963, hubungan dengan Konferensi Pusat
tidak dapat dilanjutkan. Melalui ijin dari
Konferensi Agung di Pittsburg, Gereja Methodist di Indonesia
menjadi otonom dengan nama Gereja Methodist Indonesia (GMI). Pdt.
Wismar Panggabean terpilih sebagai Ketua. Tanggal 16 Februari 1969
Johanes Gultom terpilih sebagai Bishop Indonesia pertama.
Dalam Konferensi Agung
tahun 1977 dia digantikan oleh Hermanus Sitorus. Tetapi pada tahun
1986, Johanes Gultom terpilih kembali untuk keduakalinya. Gultom menjadi
Bishop sampai akhir hayatnya. Pada tanggal 21 November
1987 beliau meninggal di Singapura karena penyakit jantung yang sudah
lama dideritanya. Hamonangan Panggabean terpilih dalam Konferensi Agung
Istimewa untuk meneruskan waktu yang tersisa. Bishop dipilih
dalam Konferensi Agung yang diadakan setiap 4 tahun
Pada Konferensi
Agung tahun 1989, Panggabean terpilih kembali sebagai Bishop. Tahun
1993 Panggabean pensiun dan Hermanus Sitorus terpilih kembali
sebagai Bishop. Akan tetapi tahun 1995 dia meninggal di
Singapura karena sakit. Pada tahun yang sama Konferensi Agung Istimewa
diadakan untuk keduakalinya. Pdt.Humala Doloksaribu terpilih
sebagai Bishop yang meneruskan pelayanan Sitorus. Bulan
Oktober 1997 Doloksaribu terpilih kembali menjadi Bishop.
IV.
KEMBALINYA METHODIST KE PULAU JAWA
Tahun 1963 Pimpinan
Distrik Sumatera Selatan, Pdt. Richard Herald Babcock, datang ke Jakarta
dan bertemu dengan Pdt. Warren Stenley Heath yang juga dosen di ITB
Bandung . Dari pembicaraan tersebut disepakati untuk membuka
kepmbali pelayanan Methodist di Jawa. Januari 1964 Pdt. Heath secara
resmi diserahi tugas untuk memulai pekerjaan ini, mulai
dengan mahasiswa di Bandung. Di Jakarta, beberapa
anggota eks Methodist yang bergabung dengan Gereja
Kristus, GKI dan gereja-gereja lainnya mulai mengadakan
kontak untuk membentuk persekutuan.
Mulai tanggal
30 Agustus 1964 diadakan kebaktian dengan meminjam
tempat di Gereja Anglikan. Kebaktian2 Rumah Tangga lebih sering diadakan secara
bergilir. Persekutuan ini makin lama makin banyak, karena banyak
juga anggota Methodist yang baru pindah dari Sumatera
bergabung. Jemaat ini kemudian menjadi Jemaat GMI Jakarta Pusat di
Kramat Jaya Baru. Jemaat ini membuka Pos PI di Tebet, yang setelah
didewasakan menjadi GMI Jemaat Maranatha. Di Tg. Priok juga dibuka, yang
kemudian didewasakan menjadi GMI Bethesda, di Depok,
GMI Depok dan Pos PI Jakarta Selatan di daerah Ciputat.
Sebagian anggota
yang tinggal di Jakarta Barat membentuk persekutuan yang
kemudian menjadi GMI ANUGERAH. Jemaat ini kini mempunyai 2
Pos PI, KARUNIA di Bekasi dan DAMAI SEJAHTERA di Citra
I. Kini GMI ANUGERAH mempunyai 3 kebaktian, Bhs Inggris, Bhs Indonesia
dan Bhs Mandarin.
Orang-orang Methodist dari
Sumatera yang berbahasa Mandarin juga mulai mengadakan persekutuan di daerah
Angke Jakarta Barat pada tanggal 20 September 1968 .
Jemaat ini berkembang pesat hingga sekarang menjadi Jemaat
IMMANUEL. Jemaat ini membuka kebaktian berbahasa Inggris.
Dari jemaat ini, ada 4 Pos
PI yang sudah menjadi jemaat penuh, yaituGMI SION di Jelambar, GMI Bogor
di jl. Cincau-Bogor, GMI JIREH Semarang dan GMI Surabaya. Pos PI
yang kini diasuh oleh GMI IMANUEL adalah Pos PI Kelapa
Gading, Pos PI Poris Indah, Madiun, Winogo, Kecubung,
Ngangkatan, Grogol, Wonogiri dan Baron di Jawa Timur, Pos PI
Pontianak dan juga di Denpasar-Bali. GMI Bogor membuka Pos PI di
Karawang. Jireh di Semarang membuka pos PI di Jogyakarta, Solo,
Sragen. GMI SION membuka Pos PI di Dadap. GMI EBENHAEZER-Tangerang yang tadinya
Pos PI Jakarta Pusat, sudah membuka Pos PI di Perumnas jang sudah mandiri
(GMI Bethlehem), Pos PI Gembor, Pos PI Binong dan Pos PI Tiga
Raksa. GMI Maranata-Tebet sudah membuka Pos PI di Pasar Rebo. Di Bandung
tetap ada 2 jemaat penuh, di Bandung Timur dan Bandung Barat.
Dalam Konferensi Agung
Oktober 1997 disepakati, bahwa GMI dibagi menjadi 2
Wilayah dan masing-masing mempunyai pimpinan Wilayah. Pdt Bahtiar terpilih
sebagai Pimpinan Wilayah II yang meliputi daerah Sumatera Selatan,
Jambi, Bengkulu, Riau Kepulauan, Lampung, Jawa, Bali dan Kalimantan.
Wilayah I dirangkap oleh Bishop, meliputi daerah Aceh, Sumatera Utara,
Riau Daratan. Pembagian ini dilakukan agar pengembangan dapat dilakukan
dengan lebih cepat. Karena selama ini dirasakan (oleh jemaat yang
jauh dari Kantor Pusat-Medan) pelayanan Bishop yang begitu jauh dari Medan
kurang efektif. Ini bukan perpecahan, melainkan pemisahan agar
pelayanan lebih efektif. Arahnya ialah, agar Pimpinan Wilayah
itu seorang Bishop. Tetapi karena masih agak “asing” dengan dua Bishop, maka
dipakai istilah Pimpinan Wilayah. Masing2 Pimpinan memimpin Konferensi Tahunan
Wilayah masing-masing.
Dalam Konferensi Agung
tahun 2001 baru digunakan dan dipilih 2 orang Bishop. Untuk Wilayah I terpilih
Bishop RPM Tambunan, S.Th dan Wilayah II Bishop Bachtiar Kwee, M.Div. GMI
dibagi dalam 2 Wilayah Konferensi Tahunan. Wilayah I meliputi Aceh, Sumatera
Utara, Riau Daratan. Wilayah II meliputi Riau Kepulauan, Jambi, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Lampung, Pulau Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Masing2 Wilayah
dipimpin oleh seorang Bishop. Wilayah dibagi dalam Distrik. Wilayah I terdiri
dari 8 Distrik sedang Wilayah II 5 Distrik. Kemudian tiap Distrik dibagi dalam
Resort. Tiap resot terdiri dari satu atau lebih jemaat yang dewasa/mandiri.
Pimpinan Distrik disebut District Superintendent. Kedua Wilayah setiap 4 tahun
mengadakan Konferensi Agung (General Conference) yang tugasnya antara lain,
menetapkan atau memperbaharui Disiplin, memilih Bishop, membuat program kerja
secara nasional.
Pdt. Pandu Wiguna Bone M.Th
Bab
III
Penutup
Kesimpulan
Gereja Methodist Indonesia (GMI) adalah sebuah Gereja Protestan yang beraliran Methodisme atau Wesleyan. GMI adalah Gereja beraliran Methodis terbesar di Indonesia.
Gereja Methodist Indonesia (GMI) adalah sebuah Gereja Protestan yang beraliran Methodisme atau Wesleyan. GMI adalah Gereja beraliran Methodis terbesar di Indonesia.
Pelayanan yang diberikan
mencakup pelayanan jasmani maupun rohani dalam bentuk pelayanan kesejahteraan,
kesehatan, dan pendidikan. Anggota-anggota GMI terdiri dari berbagai suku
bangsa dan bahasa. Kebaktian-kebaktiannya diselenggarakan dalam bahasa
Indonesia, Inggris, Mandarin, Batak, dan sejumlah bahasa setempat lainnya.
Comments
Post a Comment