01.
SUKU MINAHASA
a.
Sejarah
Suku Minahasa
Orang minahasa yang dikenal
dengan keturunan Toar Lumimuut sekitar abad 1 pemukiman leluhur terlebih dulu
berdiam di sekitar pesisir Likupang, lalu
berpindah ke pegununggan Wulur Mahatus, wilayah selatan Minahasa kemudian
berkembang dan berpindah ke Nieutakan (daerah sekitar tompaso baru saat ini). Pada masa ini pemerintahan
menggunakan sistem kerajaan. Seorang raja bertahta berdasarkan garis keturunan.
Sejarah orang Minahasa umumnya di tulis oleh orang-orang asing yang datang ke
tanah ini sebagian besar adalah misionaris.
Beberapa antaranya: Pdt.Scwarsch, J. Albt. T. Schwarz, Dr. JGF Riedel, Pdt. Wilken, Pdt. J. Wiersma. Terdapat tiga
tokoh sentral terkait dengan leluhur orang Minahasa, yaitu Lumimuut, Toar dan Karema.Karema, dimengerti sebagai "manusia
langit", dan Lumimuut dan Toar adalah leluhur dan cikal bakal dari
orang-orang Minahasa. Manusia awal di Minahasa yang berasal dari Lumimuut dan
Toar, tempat semula dari Lumimuut dan Toar serta keturunannya disebut Wulur
Mahatus.
b.
Kepercayaan
dan keTuhanan
Orang minahasa dahulu kala mempunyai
sistem kepercayaan tradisional yang bersifat monotheisme. Agama suku minahasa
adalah agama yang memuja adanya satu pencipta yang superior yang disebut Opo
Wailan Wangko ,Empung. Agama asli minahasa oleh orang eropa disebut
Alifuru,yang memiliki cirri animisme,walaupun hal ini ditolak oleh sejumlah
ahli. Orang minahasa juga mengenal adanya kekuatan semacam dewa,yaitu
orang-orang tua yang memiliki kekuatan spiritual maupun yang dihormati dan
disegani (para dotu) yang telah meninggal. Mereka ini kemudian disebut sebagai
Opo (suku tontemboanmenyebutnya Apo). Sang esa dikenal dengan nama empung,atau
Opo Wailan Wangko,Opo Menambo-nembo,Opo renga-rengan,yang bermukim di
kasendukan serta dilayani para Opo (dewa). Disamping dunia manusia di
bumi,penduduk percaya ada dunia tengah (kalahwakan) yang didiami para dotu.
Para dotu ini menjadi medium manusia di bumi dengan empung di dunia atas.
Leluhur awal mempercayai jiwa manusia tidak mati,tapi pergi ke tempat tinggal
leluhurnya.
Pada saat bangsa eropa tiba di minahasa,agama Kristen diterima dengan tangan terbuka. Pada mulanya agama Kristen katolik disebarkan oleh misionaris bangsa spanyol dan portugis abad ke 16 dan 17 dan dilanjutkan abad ke 19. Pada saat belanda masuk di minahasa,pemeluk katolik di alihkan menjadi protestan. Penyebaran protestan dilakukan oleh Zendeling (pekabar injil belanda) erkebangsaan jerman dan belanda. Kedudukan kolonial belanda yang bertahan selam 3 abad di minahasa menyebabkan orang minahasa lebih banyak memeluk aliran protestan. Unsur-unsur kepercayaan pribumi yang dapat disaksikan pada orang Minahasa yangsekarang secara resmi telah memeluk agama-agama Protestan, Katolik maupun Islammerupakan peninggalan sistem religi zaman dahulu sebelum berkembangnya agama Kristen.Unsur-unsur ini mencakup : konsep-konsep dunia gaib, makhluk dan kekuatan adikodrati(yang dianggap “baik” dan “jahat” serta manipulasinya, dewa tertinggi, jiwa manusia, benda berkekuatan gaib, tempat keramat, orang berkekuatan gaib, dan dunia akhirat).Unsur-unsur religi pribumi terdapat dalam beberapa upacara adat yang dilakukanorang yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa lingkaran hidup individu, sepertikelahiran, perkawinan, kematian maupun dalam bentuk-bentuk pemberian kekuatan gaibdalam menghadapai berbagai jenis bahaya, serta yang berhubungan dengan pekerjaan ataumata pencaharian. Unsur-unsur ini tentu juga tampak dalam wujud sebagai kedukunan(sistem medis makatana) yang sampai sekarang masih hidup.
Pada saat bangsa eropa tiba di minahasa,agama Kristen diterima dengan tangan terbuka. Pada mulanya agama Kristen katolik disebarkan oleh misionaris bangsa spanyol dan portugis abad ke 16 dan 17 dan dilanjutkan abad ke 19. Pada saat belanda masuk di minahasa,pemeluk katolik di alihkan menjadi protestan. Penyebaran protestan dilakukan oleh Zendeling (pekabar injil belanda) erkebangsaan jerman dan belanda. Kedudukan kolonial belanda yang bertahan selam 3 abad di minahasa menyebabkan orang minahasa lebih banyak memeluk aliran protestan. Unsur-unsur kepercayaan pribumi yang dapat disaksikan pada orang Minahasa yangsekarang secara resmi telah memeluk agama-agama Protestan, Katolik maupun Islammerupakan peninggalan sistem religi zaman dahulu sebelum berkembangnya agama Kristen.Unsur-unsur ini mencakup : konsep-konsep dunia gaib, makhluk dan kekuatan adikodrati(yang dianggap “baik” dan “jahat” serta manipulasinya, dewa tertinggi, jiwa manusia, benda berkekuatan gaib, tempat keramat, orang berkekuatan gaib, dan dunia akhirat).Unsur-unsur religi pribumi terdapat dalam beberapa upacara adat yang dilakukanorang yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa lingkaran hidup individu, sepertikelahiran, perkawinan, kematian maupun dalam bentuk-bentuk pemberian kekuatan gaibdalam menghadapai berbagai jenis bahaya, serta yang berhubungan dengan pekerjaan ataumata pencaharian. Unsur-unsur ini tentu juga tampak dalam wujud sebagai kedukunan(sistem medis makatana) yang sampai sekarang masih hidup.
Dunia gaib sekitar manusia dianggap didiami oleh makhluk-makhluk
halus sepertiroh-roh leluhur baik maupun jahat, hantu-hantu dan kekuatan gaib
lainnya. Usaha manusiauntuk mengadakan hubungan dengan makhluk-makhluk tersebut
bertujuan supaya hidupmereka tidak diganggu sebaliknya dapat dibantu dan dilindungi,
dengan mengembangkan suatu kompleks sistem upacara pemujaan yang dahulu dikenal
sebagai na’amkungan atauma’ambo atau masambo. Dalam mitologi orang Minahasa
rupanya sistem kepercayaan dahulu mengenal banyak dewa, salah satunya
adalah dewa tertinggi. Dewa oleh penduduk disebut empung atauopo, dan untuk
sewa yang tertinggi disebut opo wailan wangko. Dewa yang penting sesudah dewa
tertinggi ialah karema. Opo wailan wangko dianggap sebagai pencipta seluruh
alam dan isinya yang dikenaloleh manusia yang memujanya. Karema yang mewujudkan
diri sebagai manusia adalahsebagai penunjuk jalan bagi lumimuut (wanita sebagai
manusia pertama) untuk mendapatkanketurunan seorang pria yang bernama to’ar,
yang juga dianggap sebagai pembawa adat khususnya cara-cara pertanian yaitu
sebagai cultural hero (dewa pembawa adat).Roh leluhur juga disebut opo, atau
sering disebut dotu yang pada masa hidupnya adalah seorang yang dianggap sakti
dan juga sebagai pahlawan seperti pemimpin-pemimpin komunitas besar (kepala
walak dan komunitas desa; tona’as ). Mereka juga dalam hidupnyamemiliki
keahlian dan prestasi seperti dalam perang, keagamaan dan kepemimpinan. Ada kepercayaan
bahwa opo-opo yang baik akan senantiasa menolong manusia yang dianggap sebagai
cucu mereka (puyun) apabila mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan.
Pelanggaran yang terjadi dapat mangakibatkan yang bersangkutan akan mengalami
bencanaatau kesulitan hidup akibat murka opo-opo, ataupun kekuatan sakti yang
diberikan akanhilang. Disamping itu, ada juga opo-opo yang memberikan kekuatan
sakti untuk hal-hal yangtidak baik, seperti untuk mencuri, berjudi .Konsepsi
makhluk halus lainnya seperti hantu ialah panunggu, lulu, puntianak,
pok- pok dsb yang dianggap berada di tempat tertentu dan pada saat dan
keadaan tertentu dapatmaengganggu manusia. Untuk menghadapi hal-hal tersebut
sangat dirasakan peranan dari opo-opo yang dapat menghadapi atau mengalahkan
mereka atau mengatasi gangguan dari mereka. Roh (mukur) orangtua sendiri
ataupun roh-roh kerabat yang sudah meninggaldianggap selalu berada di sekitar
kelurganya yang masih hidup, yang sewaktu-waktu datang menunjukkan dirinya
dalam bentuk bayangan atau mimpi atau dapat pula melalui seseorangsebagai media
yang dimasuki oleh mukur sehingga bisa bercakap-cakap dengan kerabatnya.Mukur
yang demikian tidak dianggap berbahaya malahan bisa menolong
kerabatnya.Kepercayaan orang Minahasa bahwa ada bagian tubuh yang mempunyai
kekuatan sakti seperti rambut dan kuku.[1]
c. KEKERABATAN
Masyarakat
Minahasa Kuno
Keluarga batih sebagai kelompok terkecil dalam masyarakat Minahasa di
sebut Awu. Istilah itu sebenarnya berarti abu, juga di pakai dalam arti dapur.
Sampai sekarang di Minahasa masih banyak di dapati tempat masak terbuat dari
kayu atau bambu di isi dengan tanah atau abu.
Dalam hubungan masyarakat, istilah Awu
dipakai dalam keluarga batih (rumah tangga) dan di pergunakan banyaknya
penduduk di satu kampung. Dalam masyarakat Minahasa kuno sedapatnya seluruh
keluarga baik yang sudah menikah atau belum tinggal di satu rumah besar
berbentuk bangsal yang di dirikan di atas tiang tiang tinggi. Bangunan di atas
tiang tinggi itu erat hubungannya dengan keamanan.
Menurut ketentuan adat, bila seorang
anggota keluarga yang sudah dewasa membentuk rumah tangga baru, maka rumah
tangga baru itu mendapat ruangan tersendiri di keluarga pria atau wanita.
Ruangan terpisah itu dilengkapi dengan satu tempat masak sendiri, yang berarti
yang menempatinya telah berdiri sendiri. Ruangan tempat masak itulah yang di
sebut awu. Awu akhirnya di artikan sebagai rumah tangga. Karna itu
pulalah orang yang sudah menikah saling menyebut Ka Awu (Ka = teman,
kakak).
Anggota Awu terdiri dari ayah, ibu, dan anak anak.
Sebagai kepala dari Awu bertindak
si Ama (ayah) dan bila ia meninggal dunia maka si Ina (ibu) yang
menggantikannya. Beradanya fungsi kepala di sini dalam tangan sang ayah bukan
berarti kekuasaan mutlak pengaturan rumah tangga berada di tangannya. Kepala di
sini lebih dititik beratkan pada arti adanya rumah tangga dan kewajiban membela
rumah tangga terhadap serangan dari luar. Dalam ketentuan adat untuk pengurusan
rumah tangga si Ama dan Ina wajib bermusyawarah untuk mengambil
keputusan dan menentukan kebijakan.
Dari perkawinan terbentuklah keluarga
besar yang meliputi beberapa bangsal. Menurut kebiasaan, pembangunan bangsal
baru harus berdekatan dengan bangsal lama. Hal ini menyangkut pengurusan
kepentingan bersama, keamanan, dan masalah lahan pertanian bersama. Kompleks
bangsal bangsal ini yang di huni oleh penduduk yang berhubungan kekeluargaan di
namakan Taranak. Pimpinan Taranak di pegang oleh Ama dari
keluarga cikal bakal yang di sebut Tu'ur. Tugas utama Tu'ur
adalah melestarikan ketentuan ketentuan adat, meliputi hubungan antar Awu,
mengatur cara cara mengerjakan lahan pertanian yang di miliki bersama, mengatur
perkawinan anggota anggota Taranak, hubungan antar Awu dan Taranak
sampai dengan mengadili dan menghukum anggota anggota yang bersalah. Tetapi
apapun yang dikerjakannya bila hal itu menyangkut keamanan dan prestise Taranak,
ia senantiasa minta pendapat dari para anggota Taranak, karena hal itu
juga menjadi ketentuan adat.
Mapalus (tolong menolong)
Dalam Mapalus, prinsip yang sama
kelihatan yang mana para wanita memikul cangkul, sekop dll. Ketentuan ini bukan
berarti wanita mempunyai kedudukan lebih rendah akan tetapi kaum pria mempunyai
kewajiban untuk menjaga keamanan rombongan Mapalus itu, dan mereka di
haruskan membawa parang, tombak dan alat perang lainnya.
Ketentuan organisasi Mapalus ini
di jalankan dengan ketat sama dengan ketentuan adat lainnya. Pada waktu
pembentukan pimpinan (dalam bahasa tontemboan Kumeter), sesudah
teripilih, pemimpin harus di cambuk oleh salah satu pimpinan di kampung dengan
rotan, sambil mengucapkan "sebagaimana kerasnya aku mencambukmu begitu
juga kerasnya kau harus mencambuk anggota yang malas dan pelanggar
peraturan".
Arti Mapalus telah mengalami perubahan seiring dengan
perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Pada mulanya dalam masyarakat kuno, Mapalus
masih mempunyai arti yang sama dengan gotong royong karena tanah pertanian
masih milik bersama. Akan tetapi karena perkembangan masyarakat selanjutnya,
dimana milik perorangan telah tercipta dan menonjol, maka arti Mapalus
berubah menjadi tolong menolong. Seperti sekarang setiap anggota Mapalus
berhak untuk mendapat bantuan dari anggota anggota lain sebagai jasa karena dia
sudah membantu anggota lain dalam melakukan pekerjaan baik di sawah, ladang,
rumah dll.
d.
MATA PENCAHARIAN
Di Minahasa, jaringan jalan raya
tergolong baik, serta adanyapelabuhan Bitung dan bandara Sam Ratulangi, adanya
industri-industrikecil, toko-toko di kota, dan kegiatan-kegiatan ekonomi modern
lainnyamemang secara erat berhubungan dengan, dan sangat mempengaruhi,ekonomi
pedesaan yang berpangkal pada sektor pertanian rakyat yang masih tradisional.
Ekonomi pedesaan di Minahasa mempunyai bentuktersendiri yang menunjukkan adanya
perbedaan dari masyarakat-masyarakat pedesaan lainnya, seperti Sangir,
Gorontalo, Bolaang Mongondow, Jawa, Bali, dan sebagainya, terutama dari segi
sosiobudaya.Namun, pernyataan ini tidak mengabaikan adanya kenyataan-kenyataan
variasi intrabudaya di dalam setiap masyarakat etnis ini, bukan hanyaseperti
yang dimaksud dengan keragaman pola-pola kegiatan ekonomitersebut di atas
tetapi juga keragaman antarlokalitas pedesaan yangdiperlihatkan oleh setiap
kegiatan ekonomi karena keragaman subbudaya maupun karena variasi lingkungan
fisik yang melahirkan bentukadaptasi yang berbeda-beda. Berbagai prasarana,
sarana, dan pranata ekonomi di Minahsa sekarang telah mengalami perkembangan,
jauh berbeda dari masa-masa, katakanlah Orde Baru. Jalan, jembatan, dan
pengangkutan darat telah cukup berkembang, menyebabkan tidak adalagi desa -
yang memiliki peranan ekonomis berarti – yang masihterisolasi. Sekalipun
desa-desa secara ekonomis tergolong tidak pentingdengan jaringan jalan yang
tidak beraspal, namun dapat dijangkaudengan kendaraan umum. Sekarang, desa-desa
terpencil yang yang hanya dapat dicapai dengan gerobak sangat terbatas
jumlahnya. Namun peranan gerobak ini masih dapat mencukupi kebutuhan distribusi
dan pengankutan keluar desa-desa jenis ini.
e. PEMERINTAHAN
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau
mengangkatseorang raja sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintah adalah
kepala keluargayang gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita
kenal dengan sebutanHukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti
Orang tua yang melindungi.Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa
dalam usia, berpikir, sertadidalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan
terjamin Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan
sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya,
keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahuludan setelah itu
dilakukan harus dengan mapalus Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut
Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebutSumesuweng.Di Minahasa tidak
dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di daerah lain pada saman
itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini
membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin
diperlakukan sebagairaja. seperti raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang
mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan rumah tangga.
Setelah cara tersebut dicoba diterapkandimasyarakat Minahasa oleh beberapa
walian/hukum tua timbul perlawanan
yangmemicu terjadinya pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan
rakyat/Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang
diturunkan OpoToar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan
sewenang-wenang.Akibat pemberontakkan itu, tatanan kehidupan di Minahasa
menjadi tidak menentu, peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak,
Perebutan tanah pertanian antar keluargaHal ini membuat golongan
makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambiltindakan pencegahan dengan
mengupayakan musyawarah raya yang dimotori olehTonaas-tonaas senior dari
seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.
f. BAHASA
Di Minahasa ada sekitar empat bahasa
daerah diantaranya bahasa Totemboan, Tombulu, Tonsea, Bantik, Tonsawang.
g. Alat Musik
Kolintang
Kolintang adalah instrument musik
tradisional yang sudah sangatterkenal di Indonesia. Instrument kolintang telah
diketahui sejak jamandahulu dan telah dipopulerkan oleh masyarakat melalui
berbagaimacam pertunjukan.
Musik Bambu
Musik bambu adalah alat musik yang dibuat
dari bambu dandimainkan oleh kurang lebih 40 orang. beberapa jenis musik bambuadalah :
Musik
Bambu Melulu (seluruh instrument terbuat dari bamboo)
Musik
Bambu Klarinet (sebagian instrument terbuat dari bambu dansebagian dari
"bia")
Musik
Bambu Seng (beberapa instrument terbuat dari bamboo)
Musik Bia (instrument terbuat dari bia.)
h. GAMBAR
RUMAH ADAT, PAKIAN.
Rumah adat Minahasa merupakan rumah
panggung yang terdiri dari dua tangga didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek
moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat
yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut akan
kembali turun di tangga yang sebelahnya.
Ø PAKAIAN
ADAT
Di masa lalu busana sehari-hari wanita
Minahasa terdiri dari bajusejenis kebaya, disebut wuyang (pakaian kulit kayu).
Selain itu, merekapun memakai blus atau gaun yang disebut pasalongan rinegetan,
yangbahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan kaum pria memakai baju
karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari ijuk.
Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang berlengan panjang, memakai krah
dan saku disebut baju baniang. Celana yang dipakai masih sederhana, yaitu mulai
dari bentuk celana pendek sampai celana panjang seperti bentuk celana piyama.Pada
perkembangan selanjutnya busana Minahasa mendapatkan pengaruh dari bangsa Eropa
dan Cina. Busana wanita yang memperoleh pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri
dari baju kebaya lengan panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh
Cina adalah kebayawarna putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan
bunga-bungaan. Busana pria pengaruh Spanyol adalah baju lengan panjang(baniang)
yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan celana panjang.
Ø UPACARA
ADAT
1.
Monondeaga
Upacara adat ini merupakan sebuah upacara adat yang biasa
dilakukan oleh suku Minahasa terutama yang berdiam di daerah Bolaang Mongondow.
Pelaksanaan upacara adat ini sendiri adalah untuk memperingati atau mengukuhkan
seorang anak perempuan ketika memasuki masa pubertas yang ditandai dengan
datangnya haid pertama. Secara garis besar, upacara adat ini dilakukan sebagai
bentuk syukur dan sekaligus semacam uwar-uwar bahwa anak gadis dari orang yang
melaksanakan upacara adat ini telah menginjak masa pubertas. Untuk itu, agar
kecantikan dan kedewasaan sang anak gadis lebih mencorong, maka dalam upacara
adat ini sang gadis kecil pun daun telinganya ditindik dan dipasangi
anting-anting layaknya gadis yang mulai bersolek, kemudian gigi diratakan
(dikedawung) sebagai pelengkap kecantikan dan tanda bahwa yang bersangkutan
sudah dewasa.
2.
Mupuk
Im Bene
Sebenarnya upacara Mupuk Im Bene itu hakikatnya mirip
dengan upacara syukuran selepas melaksanakan panen raya, seperti halnya yang
lazim kita saksikan di pulau Jawa ketika menggelar acara mapag sri dan atau
munjungan. Dan memang, esensi dari ritual ini sendiri adalah untuk
mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala rizki yang mereka dapat,
atau yang dalam bahasa setempat disebut dengan Pallen Pactio. Prosesi dari
upacara adat ini adalah secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:
Masyarakat yang hendak melaksanakan upacara Mupuk Im Bene ini membawa sekarung
padi bersama beberapa hasil bumi lainnya ke suatu tempat dimana upacara ini
akan dilakanakan (biasanya di lapangan atau gereja) untuk didoakan. Kemudian
selepas acara mendoakan hasil bumi ini selesai maka dilanjutkan dengan
makan-makan bersama aneka jenis makanan yang sebelumnya telah disiapkan oleh
ibu-ibu tiap rumah.
3. Metipu
Metipu merupakan sebuah upacara adat dari
daerah Sangihe Talaud berupa penyembahan kepada Sang Pencipta alam semesta yang
disebut Benggona Langi Duatan Saluran. Prosesi dari upacara adat ini adalah
dengan membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap
membumbung ke hadirat-Nya, sebagai bentuk permuliaan penduduk setempat terhadap
pencipta-Nya.
4. Watu Pinawetengan
Kalimat atau istilah Musyawarah untuk
mencapai kata mufakat dan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh ternyata
bukan hanya monopoli beberapa kaum saja, dan tentu saja itu bukanlah isapan
jempol yang tanpa makna. Suku minahasa pun memiliki satu upacara adat yang
memang dilaksanakan untuk meneguhkan persatuan dan kesatuan anatar penduduknya.
Upacara adat itu dalam suku Minahasa disebut dengan upacara Watu Pinawetengan.
Konon berdasarkan cerita rakyat yang dipegang secara turun temurun, pada zaman
dahulu terdapatlah sebuah batu besar yang disebut tumotowa yakni batu yang
menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas.
Dan konon lagi kegunaan dari batu tersebut merupakan batu tempat duduk para
leluhur melakukan perundingan atau orang setempat menyebutnya Watu Rerumeran ne
Empung. Dan memang, ketika Johann Gerard Friederich Riedel pada tahun 1888
melakukan penggalian di bukit Tonderukan, ternyata penggalian berhasil
menemukan batu besar yang membujur dari timur ke barat. Batu tersebut merupakan
tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikan keputusan (dalam bentuk garis
dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi pokok pembicaraan, siapa
yang harus bicara, serta cara beribadat.
Sementara inti dari upacara yang
diselenggarakan di depan batu besar itu adalah wata’ esa ene yakni pernyataan
tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok etnis yang ada di Tanah Toar Lumimut
mengantarkan bagian peta tanah Minahasa tempat tinggalnya dan meletakkan di
bagian tengah panggung perhelatan. Diiringi musik instrumentalia kolintang,
penegasan tekad itu disampaikan satu persatu perwakilan menggunakan pelbagai
bahasa di Minahasa. Setelah tekad disampaikan mereka menghentakkan kaki ke
tanah tiga kali. Pada penghujung acara para pelaku upacara bergandengan tangan
membentuk lingkaran sembari menyanyikan Reranian: Royorz endo.
5 .Pernikahan Suku
Minahasa
Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah
Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman.
Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin serta acara
"Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan,
tapi sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam
muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan
lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat
dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan
"Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin.
Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara
perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan
pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi
pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua
pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan
pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan
resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada,
diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan
iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis,
diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang. Bacoho (Mandi Adat) Setelah mandi
biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu mencuci rambut dengan
bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti shampoo dan hair
tonic. Mencuci rambut "bacoho" dapat delakukan dengan dua cara, yakni
cara tradisional ataupun hanya sekedar simbolisasi. Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin
disiram dengan air yang telah diberi bunga-bungaan warna putih, berjumlah
sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan mamakai gayung sebanyak sembilan
kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara simbolis dapat dilakukan
sekedar membasuh muka oleh pengantin itu sendiri, kemudian mengeringkannya
dengan handuk yang bersih dan belum pernah digunakan sebelumnya.
6.Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah
satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara
dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah
pihak pengantin wanita. Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin.
Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian
ke tempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik
oleh pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung
biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada
perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh
mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan.
Apabila pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat perkawinan, ada sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya. Dan prosesi upacara adat dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa, hal ini tergantung dari keinginan atau asal keluarga pengantin. Misalnya dalam versi Tonsea, Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis Minahasa lainnya. Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit, dilanjutkan dengan kata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara salaman, makan malam dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas yang dimulai dengan Polineis.
Apabila pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat perkawinan, ada sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya. Dan prosesi upacara adat dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa, hal ini tergantung dari keinginan atau asal keluarga pengantin. Misalnya dalam versi Tonsea, Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis Minahasa lainnya. Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit, dilanjutkan dengan kata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara salaman, makan malam dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas yang dimulai dengan Polineis.
I. Sejarah
Cara penguburan suku minahasa
Mula-mula
Suku Minahasa jika
mengubur orang meninggal sebelum ditanam terlebih dulu dibungkus dengan daun
woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan dalam kebiasaan
menggunakan daun woka.
Kebiasaan dibungkus daun ini berubah dengan mengganti wadah rongga pohon kayu atau nibung kemudian orang meninggal dimasukkan ke dalam
rongga pohon lalu
ditanam dalam tanah. Baru sekitar abad IX Suku Minahasa mulai menggunakan
waruga. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi menghadap ke utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lutut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang
menandakan bahwa nenek moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara. Sekitar
tahun 1860 mulai
ada larangan dari Pemerintah Belanda menguburkan orang meninggal dalam waruga.
PENUTUP
Minahasa merupakan salah satu suku yang
mengutamakan persatuan. Luas tanah minahasa sekitar 5.220 km2, dengam demikian
luas tanah minahasa adalah 1/40 luas pulau Sulawesi. Rumah adat Minahasa
merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan rumah. Menurut
kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan apabila
ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat
tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.
Ada satu atraksi budaya minahasa yang sering ditampilkan,yaitu tari kabasaran dimana tari tersebut dijadikan simbol keperkasaan dan keberanian warga minahasa melawan musuh.
Ada satu atraksi budaya minahasa yang sering ditampilkan,yaitu tari kabasaran dimana tari tersebut dijadikan simbol keperkasaan dan keberanian warga minahasa melawan musuh.
Comments
Post a Comment