KONSEP KETUHANAN DALAM AGAMA SUKU MINAHASA


 
01.         SUKU MINAHASA
a.                   Sejarah Suku Minahasa
Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut sekitar abad 1 pemukiman leluhur terlebih dulu berdiam di sekitar pesisir Likupang, lalu berpindah ke pegununggan Wulur Mahatus, wilayah selatan Minahasa kemudian berkembang dan berpindah ke Nieutakan (daerah sekitar tompaso baru saat ini). Pada masa ini pemerintahan menggunakan sistem kerajaan. Seorang raja bertahta berdasarkan garis keturunan. Sejarah orang Minahasa umumnya di tulis oleh orang-orang asing yang datang ke tanah ini sebagian besar adalah misionaris. Beberapa antaranya: Pdt.Scwarsch, J. Albt. T. Schwarz, Dr. JGF Riedel, Pdt. Wilken, Pdt. J. Wiersma. Terdapat tiga tokoh sentral terkait dengan leluhur orang Minahasa, yaitu Lumimuut, Toar dan Karema.Karema, dimengerti sebagai "manusia langit", dan Lumimuut dan Toar adalah leluhur dan cikal bakal dari orang-orang Minahasa. Manusia awal di Minahasa yang berasal dari Lumimuut dan Toar, tempat semula dari Lumimuut dan Toar serta keturunannya disebut Wulur Mahatus.
b.                  Kepercayaan dan keTuhanan
Orang minahasa dahulu kala mempunyai sistem kepercayaan tradisional yang bersifat monotheisme. Agama suku minahasa adalah agama yang memuja adanya satu pencipta yang superior yang disebut Opo Wailan Wangko ,Empung. Agama asli minahasa oleh orang eropa disebut Alifuru,yang memiliki cirri animisme,walaupun hal ini ditolak oleh sejumlah ahli. Orang minahasa juga mengenal adanya kekuatan semacam dewa,yaitu orang-orang tua yang memiliki kekuatan spiritual maupun yang dihormati dan disegani (para dotu) yang telah meninggal. Mereka ini kemudian disebut sebagai Opo (suku tontemboanmenyebutnya Apo). Sang esa dikenal dengan nama empung,atau Opo Wailan Wangko,Opo Menambo-nembo,Opo renga-rengan,yang bermukim di kasendukan serta dilayani para Opo (dewa). Disamping dunia manusia di bumi,penduduk percaya ada dunia tengah (kalahwakan) yang didiami para dotu. Para dotu ini menjadi medium manusia di bumi dengan empung di dunia atas. Leluhur awal mempercayai jiwa manusia tidak mati,tapi pergi ke tempat tinggal leluhurnya.
Pada saat bangsa eropa tiba di minahasa,agama Kristen diterima dengan tangan terbuka. Pada mulanya agama Kristen katolik disebarkan oleh misionaris bangsa spanyol dan portugis abad ke 16 dan 17 dan dilanjutkan abad ke 19. Pada saat belanda masuk di minahasa,pemeluk katolik di alihkan menjadi protestan. Penyebaran protestan dilakukan oleh Zendeling (pekabar injil belanda)  erkebangsaan jerman dan belanda. Kedudukan kolonial belanda yang bertahan selam 3 abad di minahasa menyebabkan orang minahasa lebih banyak memeluk aliran protestan. Unsur-unsur kepercayaan pribumi yang dapat disaksikan pada orang Minahasa yangsekarang secara resmi telah memeluk agama-agama Protestan, Katolik maupun Islammerupakan peninggalan sistem religi zaman dahulu sebelum berkembangnya agama Kristen.Unsur-unsur ini mencakup : konsep-konsep dunia gaib, makhluk dan kekuatan adikodrati(yang dianggap “baik” dan “jahat” serta manipulasinya, dewa tertinggi, jiwa manusia, benda berkekuatan gaib, tempat keramat, orang berkekuatan gaib, dan dunia akhirat).Unsur-unsur religi pribumi terdapat dalam beberapa upacara adat yang dilakukanorang yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa lingkaran hidup individu, sepertikelahiran, perkawinan, kematian maupun dalam bentuk-bentuk pemberian kekuatan gaibdalam menghadapai berbagai jenis bahaya, serta yang berhubungan dengan pekerjaan ataumata pencaharian. Unsur-unsur ini tentu juga tampak dalam wujud sebagai kedukunan(sistem medis makatana) yang sampai sekarang masih hidup.
Dunia gaib sekitar manusia dianggap didiami oleh makhluk-makhluk halus sepertiroh-roh leluhur baik maupun jahat, hantu-hantu dan kekuatan gaib lainnya. Usaha manusiauntuk mengadakan hubungan dengan makhluk-makhluk tersebut bertujuan supaya hidupmereka tidak diganggu sebaliknya dapat dibantu dan dilindungi, dengan mengembangkan suatu kompleks sistem upacara pemujaan yang dahulu dikenal sebagai na’amkungan atauma’ambo atau masambo. Dalam mitologi orang Minahasa rupanya sistem kepercayaan dahulu mengenal banyak dewa, salah satunya adalah dewa tertinggi. Dewa oleh penduduk disebut empung atauopo, dan untuk sewa yang tertinggi disebut opo wailan wangko. Dewa yang penting sesudah dewa tertinggi ialah karema. Opo wailan wangko dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan isinya yang dikenaloleh manusia yang memujanya. Karema yang mewujudkan diri sebagai manusia adalahsebagai penunjuk jalan bagi lumimuut (wanita sebagai manusia pertama) untuk mendapatkanketurunan seorang pria yang bernama to’ar, yang juga dianggap sebagai pembawa adat khususnya cara-cara pertanian yaitu sebagai cultural hero (dewa pembawa adat).Roh leluhur juga disebut opo, atau sering disebut dotu yang pada masa hidupnya adalah seorang yang dianggap sakti dan juga sebagai pahlawan seperti pemimpin-pemimpin komunitas besar (kepala walak dan komunitas desa; tona’as ). Mereka juga dalam hidupnyamemiliki keahlian dan prestasi seperti dalam perang, keagamaan dan kepemimpinan. Ada kepercayaan bahwa opo-opo yang baik akan senantiasa menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka (puyun) apabila mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan. Pelanggaran yang terjadi dapat mangakibatkan yang bersangkutan akan mengalami bencanaatau kesulitan hidup akibat murka opo-opo, ataupun kekuatan sakti yang diberikan akanhilang. Disamping itu, ada juga opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal-hal yangtidak baik, seperti untuk mencuri, berjudi .Konsepsi makhluk halus lainnya seperti hantu ialah panunggu, lulu, puntianak, pok- pok dsb yang dianggap berada di tempat tertentu dan pada saat dan keadaan tertentu dapatmaengganggu manusia. Untuk menghadapi hal-hal tersebut sangat dirasakan peranan dari opo-opo yang dapat menghadapi atau mengalahkan mereka atau mengatasi gangguan dari mereka. Roh (mukur) orangtua sendiri ataupun roh-roh kerabat yang sudah meninggaldianggap selalu berada di sekitar kelurganya yang masih hidup, yang sewaktu-waktu datang menunjukkan dirinya dalam bentuk bayangan atau mimpi atau dapat pula melalui seseorangsebagai media yang dimasuki oleh mukur sehingga bisa bercakap-cakap dengan kerabatnya.Mukur yang demikian tidak dianggap berbahaya malahan bisa menolong kerabatnya.Kepercayaan orang Minahasa bahwa ada bagian tubuh yang mempunyai kekuatan sakti seperti rambut dan kuku.[1]
c.       KEKERABATAN
Masyarakat Minahasa Kuno
Keluarga batih sebagai kelompok terkecil dalam masyarakat Minahasa di sebut Awu. Istilah itu sebenarnya berarti abu, juga di pakai dalam arti dapur. Sampai sekarang di Minahasa masih banyak di dapati tempat masak terbuat dari kayu atau bambu di isi dengan tanah atau abu.
Dalam hubungan masyarakat, istilah Awu dipakai dalam keluarga batih (rumah tangga) dan di pergunakan banyaknya penduduk di satu kampung. Dalam masyarakat Minahasa kuno sedapatnya seluruh keluarga baik yang sudah menikah atau belum tinggal di satu rumah besar berbentuk bangsal yang di dirikan di atas tiang tiang tinggi. Bangunan di atas tiang tinggi itu erat hubungannya dengan keamanan.
Menurut ketentuan adat, bila seorang anggota keluarga yang sudah dewasa membentuk rumah tangga baru, maka rumah tangga baru itu mendapat ruangan tersendiri di keluarga pria atau wanita. Ruangan terpisah itu dilengkapi dengan satu tempat masak sendiri, yang berarti yang menempatinya telah berdiri sendiri. Ruangan tempat masak itulah yang di sebut awu. Awu akhirnya di artikan sebagai rumah tangga. Karna itu pulalah orang yang sudah menikah saling menyebut Ka Awu (Ka = teman, kakak).
Anggota Awu terdiri dari ayah, ibu, dan anak anak.
Sebagai kepala dari Awu bertindak si Ama (ayah) dan bila ia meninggal dunia maka si Ina (ibu) yang menggantikannya. Beradanya fungsi kepala di sini dalam tangan sang ayah bukan berarti kekuasaan mutlak pengaturan rumah tangga berada di tangannya. Kepala di sini lebih dititik beratkan pada arti adanya rumah tangga dan kewajiban membela rumah tangga terhadap serangan dari luar. Dalam ketentuan adat untuk pengurusan rumah tangga si Ama dan Ina wajib bermusyawarah untuk mengambil keputusan dan menentukan kebijakan.
Dari perkawinan terbentuklah keluarga besar yang meliputi beberapa bangsal. Menurut kebiasaan, pembangunan bangsal baru harus berdekatan dengan bangsal lama. Hal ini menyangkut pengurusan kepentingan bersama, keamanan, dan masalah lahan pertanian bersama. Kompleks bangsal bangsal ini yang di huni oleh penduduk yang berhubungan kekeluargaan di namakan Taranak. Pimpinan Taranak di pegang oleh Ama dari keluarga cikal bakal yang di sebut Tu'ur. Tugas utama Tu'ur adalah melestarikan ketentuan ketentuan adat, meliputi hubungan antar Awu, mengatur cara cara mengerjakan lahan pertanian yang di miliki bersama, mengatur perkawinan anggota anggota Taranak, hubungan antar Awu dan Taranak sampai dengan mengadili dan menghukum anggota anggota yang bersalah. Tetapi apapun yang dikerjakannya bila hal itu menyangkut keamanan dan prestise Taranak, ia senantiasa minta pendapat dari para anggota Taranak, karena hal itu juga menjadi ketentuan adat.
Mapalus (tolong menolong) 
Dalam Mapalus, prinsip yang sama kelihatan yang mana para wanita memikul cangkul, sekop dll. Ketentuan ini bukan berarti wanita mempunyai kedudukan lebih rendah akan tetapi kaum pria mempunyai kewajiban untuk menjaga keamanan rombongan Mapalus itu, dan mereka di haruskan membawa parang, tombak dan alat perang lainnya.
Ketentuan organisasi Mapalus ini di jalankan dengan ketat sama dengan ketentuan adat lainnya. Pada waktu pembentukan pimpinan (dalam bahasa tontemboan Kumeter), sesudah teripilih, pemimpin harus di cambuk oleh salah satu pimpinan di kampung dengan rotan, sambil mengucapkan "sebagaimana kerasnya aku mencambukmu begitu juga kerasnya kau harus mencambuk anggota yang malas dan pelanggar peraturan".
Arti Mapalus telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Pada mulanya dalam masyarakat kuno, Mapalus masih mempunyai arti yang sama dengan gotong royong karena tanah pertanian masih milik bersama. Akan tetapi karena perkembangan masyarakat selanjutnya, dimana milik perorangan telah tercipta dan menonjol, maka arti Mapalus berubah menjadi tolong menolong. Seperti sekarang setiap anggota Mapalus berhak untuk mendapat bantuan dari anggota anggota lain sebagai jasa karena dia sudah membantu anggota lain dalam melakukan pekerjaan baik di sawah, ladang, rumah dll.
d.      MATA PENCAHARIAN
Di Minahasa, jaringan jalan raya tergolong baik, serta adanyapelabuhan Bitung dan bandara Sam Ratulangi, adanya industri-industrikecil, toko-toko di kota, dan kegiatan-kegiatan ekonomi modern lainnyamemang secara erat berhubungan dengan, dan sangat mempengaruhi,ekonomi pedesaan yang berpangkal pada sektor pertanian rakyat yang masih tradisional. Ekonomi pedesaan di Minahasa mempunyai bentuktersendiri yang menunjukkan adanya perbedaan dari masyarakat-masyarakat pedesaan lainnya, seperti Sangir, Gorontalo, Bolaang Mongondow, Jawa, Bali, dan sebagainya, terutama dari segi sosiobudaya.Namun, pernyataan ini tidak mengabaikan adanya kenyataan-kenyataan variasi intrabudaya di dalam setiap masyarakat etnis ini, bukan hanyaseperti yang dimaksud dengan keragaman pola-pola kegiatan ekonomitersebut di atas tetapi juga keragaman antarlokalitas pedesaan yangdiperlihatkan oleh setiap kegiatan ekonomi karena keragaman subbudaya maupun karena variasi lingkungan fisik yang melahirkan bentukadaptasi yang berbeda-beda. Berbagai prasarana, sarana, dan pranata ekonomi di Minahsa sekarang telah mengalami perkembangan, jauh berbeda dari masa-masa, katakanlah Orde Baru. Jalan, jembatan, dan pengangkutan darat telah cukup berkembang, menyebabkan tidak adalagi desa - yang memiliki peranan ekonomis berarti – yang masihterisolasi. Sekalipun desa-desa secara ekonomis tergolong tidak pentingdengan jaringan jalan yang tidak beraspal, namun dapat dijangkaudengan kendaraan umum. Sekarang, desa-desa terpencil yang yang hanya dapat dicapai dengan gerobak sangat terbatas jumlahnya. Namun peranan gerobak ini masih dapat mencukupi kebutuhan distribusi dan pengankutan keluar desa-desa jenis ini.


e.       PEMERINTAHAN
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkatseorang raja sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintah adalah kepala keluargayang gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutanHukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi.Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia, berpikir, sertadidalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan terjamin Ukung Tua tidak  boleh memerintah rakyat dengan sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahuludan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus Didalam bekerja terdapat pengatur  atau  pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebutSumesuweng.Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di daerah lain pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagairaja. seperti raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan rumah tangga. Setelah cara tersebut dicoba diterapkandimasyarakat Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yangmemicu terjadinya pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat/Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan OpoToar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.Akibat pemberontakkan itu, tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu, peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar keluargaHal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambiltindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori olehTonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.
f.       BAHASA
Di Minahasa ada sekitar empat bahasa daerah diantaranya bahasa Totemboan, Tombulu, Tonsea, Bantik, Tonsawang.
g.      Alat Musik      
  Kolintang
Kolintang adalah instrument musik tradisional yang sudah sangatterkenal di Indonesia. Instrument kolintang telah diketahui sejak jamandahulu dan telah dipopulerkan oleh masyarakat melalui berbagaimacam pertunjukan.
Musik Bambu
Musik bambu adalah alat musik yang dibuat dari bambu dandimainkan oleh kurang lebih 40  orang. beberapa jenis musik bambuadalah :
 Musik Bambu Melulu (seluruh instrument terbuat dari bamboo)
 Musik Bambu Klarinet (sebagian instrument terbuat dari bambu dansebagian dari "bia")
 Musik Bambu Seng (beberapa instrument terbuat dari bamboo)
 Musik Bia (instrument terbuat dari bia.)
h.      GAMBAR RUMAH ADAT, PAKIAN.
Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.
Ø  PAKAIAN ADAT
Di masa lalu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari bajusejenis kebaya, disebut wuyang (pakaian kulit kayu). Selain itu, merekapun memakai blus atau gaun yang disebut pasalongan rinegetan, yangbahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan kaum pria memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari ijuk. Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang berlengan panjang, memakai krah dan saku disebut baju baniang. Celana yang dipakai masih sederhana, yaitu mulai dari bentuk celana pendek sampai celana panjang seperti bentuk celana piyama.Pada perkembangan selanjutnya busana Minahasa mendapatkan pengaruh dari bangsa Eropa dan Cina. Busana wanita yang memperoleh pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri dari baju kebaya lengan panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Cina adalah kebayawarna putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-bungaan. Busana pria pengaruh Spanyol adalah baju lengan panjang(baniang) yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan celana panjang.
Ø  UPACARA ADAT
1.      Monondeaga
            Upacara adat ini merupakan sebuah upacara adat yang biasa dilakukan oleh suku Minahasa terutama yang berdiam di daerah Bolaang Mongondow. Pelaksanaan upacara adat ini sendiri adalah untuk memperingati atau mengukuhkan seorang anak perempuan ketika memasuki masa pubertas yang ditandai dengan datangnya haid pertama. Secara garis besar, upacara adat ini dilakukan sebagai bentuk syukur dan sekaligus semacam uwar-uwar bahwa anak gadis dari orang yang melaksanakan upacara adat ini telah menginjak masa pubertas. Untuk itu, agar kecantikan dan kedewasaan sang anak gadis lebih mencorong, maka dalam upacara adat ini sang gadis kecil pun daun telinganya ditindik dan dipasangi anting-anting layaknya gadis yang mulai bersolek, kemudian gigi diratakan (dikedawung) sebagai pelengkap kecantikan dan tanda bahwa yang bersangkutan sudah dewasa.
2.      Mupuk Im Bene
            Sebenarnya upacara Mupuk Im Bene itu hakikatnya mirip dengan upacara syukuran selepas melaksanakan panen raya, seperti halnya yang lazim kita saksikan di pulau Jawa ketika menggelar acara mapag sri dan atau munjungan. Dan memang, esensi dari ritual ini sendiri adalah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala rizki yang mereka dapat, atau yang dalam bahasa setempat disebut dengan Pallen Pactio. Prosesi dari upacara adat ini adalah secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut: Masyarakat yang hendak melaksanakan upacara Mupuk Im Bene ini membawa sekarung padi bersama beberapa hasil bumi lainnya ke suatu tempat dimana upacara ini akan dilakanakan (biasanya di lapangan atau gereja) untuk didoakan. Kemudian selepas acara mendoakan hasil bumi ini selesai maka dilanjutkan dengan makan-makan bersama aneka jenis makanan yang sebelumnya telah disiapkan oleh ibu-ibu tiap rumah.

3. Metipu
Metipu merupakan sebuah upacara adat dari daerah Sangihe Talaud berupa penyembahan kepada Sang Pencipta alam semesta yang disebut Benggona Langi Duatan Saluran. Prosesi dari upacara adat ini adalah dengan membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap membumbung ke hadirat-Nya, sebagai bentuk permuliaan penduduk setempat terhadap pencipta-Nya.
4. Watu Pinawetengan                                                              
Kalimat atau istilah Musyawarah untuk mencapai kata mufakat dan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh ternyata bukan hanya monopoli beberapa kaum saja, dan tentu saja itu bukanlah isapan jempol yang tanpa makna. Suku minahasa pun memiliki satu upacara adat yang memang dilaksanakan untuk meneguhkan persatuan dan kesatuan anatar penduduknya. Upacara adat itu dalam suku Minahasa disebut dengan upacara Watu Pinawetengan. Konon berdasarkan cerita rakyat yang dipegang secara turun temurun, pada zaman dahulu terdapatlah sebuah batu besar yang disebut tumotowa yakni batu yang menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas. Dan konon lagi kegunaan dari batu tersebut merupakan batu tempat duduk para leluhur melakukan perundingan atau orang setempat menyebutnya Watu Rerumeran ne Empung. Dan memang, ketika Johann Gerard Friederich Riedel pada tahun 1888 melakukan penggalian di bukit Tonderukan, ternyata penggalian berhasil menemukan batu besar yang membujur dari timur ke barat. Batu tersebut merupakan tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikan keputusan (dalam bentuk garis dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi pokok pembicaraan, siapa yang harus bicara, serta cara beribadat.
Sementara inti dari upacara yang diselenggarakan di depan batu besar itu adalah wata’ esa ene yakni pernyataan tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok etnis yang ada di Tanah Toar Lumimut mengantarkan bagian peta tanah Minahasa tempat tinggalnya dan meletakkan di bagian tengah panggung perhelatan. Diiringi musik instrumentalia kolintang, penegasan tekad itu disampaikan satu persatu perwakilan menggunakan pelbagai bahasa di Minahasa. Setelah tekad disampaikan mereka menghentakkan kaki ke tanah tiga kali. Pada penghujung acara para pelaku upacara bergandengan tangan membentuk lingkaran sembari menyanyikan Reranian: Royorz endo.
5 .Pernikahan Suku Minahasa
            Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang. Bacoho (Mandi Adat) Setelah mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu mencuci rambut dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti shampoo dan hair tonic. Mencuci rambut "bacoho" dapat delakukan dengan dua cara, yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar simbolisasi. Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin disiram dengan air yang telah diberi bunga-bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan mamakai gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan belum pernah digunakan sebelumnya.
6.Upacara Perkawinan
            Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita. Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan.
            Apabila pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat perkawinan, ada sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya. Dan prosesi upacara adat dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa, hal ini tergantung dari keinginan atau asal keluarga pengantin. Misalnya dalam versi Tonsea, Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis Minahasa lainnya. Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit, dilanjutkan dengan kata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara salaman, makan malam dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas yang dimulai dengan Polineis.
I.     Sejarah Cara penguburan suku minahasa
Mula-mula Suku Minahasa jika mengubur orang meninggal sebelum ditanam terlebih dulu dibungkus dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan dalam kebiasaan menggunakan daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini berubah dengan mengganti wadah rongga pohon kayu atau nibung kemudian orang meninggal dimasukkan ke dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru sekitar abad IX Suku Minahasa mulai menggunakan waruga. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi menghadap ke utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lutut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa nenek moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara. Sekitar tahun 1860 mulai ada larangan dari Pemerintah Belanda menguburkan orang meninggal dalam waruga.
PENUTUP
Minahasa merupakan salah satu suku yang mengutamakan persatuan. Luas tanah minahasa sekitar 5.220 km2, dengam demikian luas tanah minahasa adalah 1/40 luas pulau Sulawesi. Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.
Ada satu atraksi budaya minahasa yang sering ditampilkan,yaitu tari kabasaran dimana tari tersebut dijadikan simbol keperkasaan dan keberanian warga minahasa melawan musuh.

Comments