MYTHOS BABYLONIA KUNO TENTANG PENCIPTAAN
MANUSIA HIDUP UNTUK PELAYANAN
BAGI DEWA-DEWA
Pada
tahun 1955 seb.M, Kerajaan Sumer runtuh dan berakhirlah dinastinya yang
memerintah, yakni dinasti ketiga dari Ur. Dinasti itu hancur karena munculnya
dinasti akkadis atau dinasti semitis dari Isin
dan Larem. Sekarang kaum Babylonia
yang berkuasa. Hingga masa sebelum pendiri dinasti Semitis memperkuat
Babylonia, kota Babylonia hanya senoktah saja besarnya, tetapi sekarang
(setelah dibangun) tempat ini menjadi pusat kerajaan yang luar biasa besarnya
di bawah kepemimpinan raja-rajanya bersama dewa-dewa mereka, dan salah satu
rajanya yang paling terkenal adalah Hammurabi.
Daerah-daerah
Sumer yang sebelumnya berkeping-keping dan masing-masing memiliki pusat ibadah,
dipersatukan di bawah kepemimpinan Babylonia. Babylonia menggantikan Sumer.
Babylonia memelihara warisan agamis Sumer, tetapi sesuai dengan adanya
perubahan keadaan politik, terjadi juga
perubahan agamis di dunia dewa-dewa.Dewa-dewa yang beraneka ragam , yang sebelumnya
menguasai kuil-kuil Sumer, sekarang ditundukkan ke bawah dewa Marduk, sembahan
orang Babylonia. Marduk adalah kepala dari seluruh dewa-dewa kaum Babylonia.
Ketundukan dewa-dewa Sumer itu kepada Marduk sedikitnya secara teoretis dan
diceritakan dalam teks-teks resmi. Itu tidak berarti bahwa segala kultus dan
tradisi agama sebelumnya dapat dihapus
dari kehidupan manusia di sana.
Nippur,
kota orang Sumer, tetap menjadi pusat kultus untuk Enlil. Kota Uruk tetap sebagai tempat suci bagi dewa langit (Sorga)
yang bernama An atau Anu. Tradisi dijalankan untuk memperkuat kekuasaan Marduk,
dewa daripada delapan kota. Dewa setempat itu (Marduk) menjadi ahli pembangun
dunia. Penyair menggubah syair yang hebat, yang berfungsi sebagai bagian dari
ritus pemujaan: Terpujilah Marduk dalam
segala kemuliaannya sebagai dewa pencipta dan kepala (pimpinan) negeri sorgawi.
Dalam
syair ini masih terdapat banyak mytos bangsa Sumer. Gerakan politik Babylonia
mirip dengan yang dilakukan Sumer; keduanya sulit dibedakan. Demikian juga
dalam hal keagamaan, Babylonia meniru yang diakukan Sumer. Nama-nama dewa yang
sama, mytos yang sama menghasilkan dunia keagamaan yang mirip.
Dari
itu sulit menentukan mana mytos Babylonia yang berasal dari Sumer, dan mana
yang berasal asli dari Babylonia. Literatur untuk itupun sedikit didapat. Jadi
ada kemungkinan anggapan bahwa teks-teks itu babylonis padahal asal mulanya
dari Sumer, walaupun mytos asli Sumer tidak dapat ditemukan lagi. Beragam teks
yang pada mulanya dipandang sebagai asli babylonis, tetapi setelah ada
penemuan-penemuan ternyata teks itu sumeris. Selama ini teks sumeris itu
digunakan sebagai teks babylonis dan turunannya dipandang sebagai
babylonis. Kalau ada sejarah Sumer dan
Babylonia yang tampaknya tidak berhubungan satu sama lain, toh juga harus
hati-hati dalam menilainya: karena mungkin saja tidak dapat ditarik kesimpulan
bahwa teks itu benar-benar babylonis.
Teks
yang di dalamnya penyair mengolah tema dan mytos Sumer, dan yang ke dalamnya
ide babylonis telah dimasukkan, adalah syair
tentang penciptaan. Teks itu dibacakan sebagai bagian dari pada ritus dalam
perayaan pesta tahun baru.
Di
sini akan dibahas tentang teks-teks tersebut. Tetapi selain dari itu di
beberapa bagian juga akan dibahas berita-berita tentang penciptaan dunia dan
penciptaan manusia dari tradisi-tradisi lainnya.
Syair
tentang Penciptaan dinamai sesuai dengan kata pertama dalam tulisan itu, yakni:
Enuma Elisch, yang artinya Sewaktu
masih di atas – Sewaktu masih di tempat tinggi. Teks ini ditulis dalam tujuh
batu bertulis, yang masing-masing batu berisi kurang lebih 150 ayat. Karya ini
dapat dikatakan lengkap, terutama karena ada juga salinan-salinannya, yang
tertua dari abad sembilan dan yang termuda dari abad kedua sebelum Kristus.
Tulisan-tulisan itu dan kepingan-kepingannya berasal dari pusat-pusat keagamaan
di negeri Babylonia, yakni dari Assyur dan Niniwe, Sippur dan Kisch di Assyiria
dan dari Babylonia sendiri. Dari itu sangat jelas betapa pentingnya syair
–syair tersebut. Bahasanya adalah bahasa Babylonia kuno. Itu memungkinkan
adanya dugaan bahwa teks itu berasal dari dynasti pertama dalam kerajaan
Babylonia di abad 19 hingga abad ke 17 seb.M. Tata penyusunan literatur ini dan
tujuan keagamaan yang terkandung di dalamnya juga cocok dengan semangat literatur
dan interesse politik pada zaman dinasti tersebut. Syair ini bukan hanya berupa
dokumen keagamaan. Isinya juga memberitakan perubahan-perubahan politik, yang
menerangkan bagaimana Babylonia menjadi penguasa tunggal dalam segala hal.
Pada
mulanya adalah khaos (kekacauan; bahasa Alkitab: tohu wabohu: belum berbentuk
dan kosong), suatu materi (bahan) yang tidak berbentuk, Samudera-raya-kuno
(purba). Pengenalan ini hampir sama di
seluruh tradisi dan mytos bangsa-bangsa di dunia Oriental kuno. Itulah permulaan,
di mana “langit di atas belum dinamai dan bumi di bawah belum punya nama”, di
mana hal-hal (benda-benda) belum dapat dibedakan.
Pembedaan
yang pertama sekali dari bahan-bahan-purba itu adalah pembedaan antara dua
dewa-purba, yang merupakan penyebab utama yang membereskan keadaan khaos yang
massif tersebut, yakni: Apsû, satu dewa berjenis kelamin
laki-laki, yang menguasai lautan air tawar
yang ada di bawah tanah, yang di atasnya bumi melayang-layang dan dunia
dikelilingi (dibungkus) oleh suatu sungai berbentuk bulatan. Apsû adalah yang
menyediakan arus-arus air di bumi. Yang kedua adalah Tiamat, si Lautan, yang
menguasai air asin, yang dari sana semua ciptaan berasal. Tiamat adalah dewa
berjenis kelamin wanita, yang merupakan ibu dari semua dewa-dewa. Tiamat punya
empat mata dan empat telinga; sehingga dapat dikatakan sebagai dua dewa dalam
satu diri.
Selain
Tiamat, masih ada yang disebut mummu. Para peneliti assyiorologi
tidak sependapat memberi arti kata ini. Ada yang menterjemahkannya
dengan firman, yakni kata pertama yang keluar dari mulut
pasangan dewa tersebut. Ahli lainnya menterjemahkannya dengan menciptakan. Yang jelas adalah, bahwa mummu bukanlah nama lain daripada
Tiamat, melainkan dewa ketiga. Dia itu adalah kabut tebal antara Apsû (si Air
tawar) dan Tiamat (si Air asin). Itulah Kabut tebal yang melayang sebagai unsur purba dalam penciptaan. Tetapi sekarang
para ahli lebih cenderung berpendapat bahwa mummu itu adalah nama
lain dari pada Tiamat, dan diterjemahkan dengan ibu..
Tiamat
adalah Ibu dari semua dewa. Dan peranannya sebagai ibu sungguh sangat dalam
berakar dalam iman dan pengenalan bangsa Babylonia, sedangkan Apsû sebagai
dewa-laki-laki yang membuatnya hamil sangat sedikit diterangkan di latar
belakang. Banyak juga tradisi yang mengatakan bahwa Tiamat memiliki dua jenis
kelamin (Laki dan wanita). Menurut teks dari Assyur, Tiamat itu “di atas
sebagai Bel, dan di bawah sebagai Nin-il”, artinya di atas sebagai jantan dan
di bawah sebagai betina.
Nyanyian
tentang penciptaan dari Babylonia mengatakan bahwa Tiamat itu sangat luar
biasa. Dalam Batu-bertulis ke empat
dikatakan bahwa Tiamat itu merupakan
Fötus (janin/cikal bakal), yang menentukan seluruh perkembangan dunia,
janin/cikal bakal daripada semua kejadian kosmis.
Belum
ada apa-apa dalam Kosmos atau dalam
dunia yang teratur (terorganiser), sampai saat Apsu dan Tiamat bertindak. Apsu
(si Air Tawar) dan Tiamat (si Air Asin) bergabung atau bercampur. Benih wujud dunia menantikan kelahirannya
melalui pemisahannya. Selain benih itu belum ada apa-apa. Keadaan ini
digambarkan dalam nyanyian penciptaan ini:
Comments
Post a Comment