1.1.PEMERINTAHAN GEREJA
Penggunaan istilah istilah
“pemerintahan gereja” berakar dalam sejarah dan pergumulan gereja, sehingga
dalam penggunaannya, pemerintahan gereja sering dipertentangkan dengan
organisasi atau paling tidak ada kesulitan menyelaraskannya, untuk menerapkanya
pada suatu organisasi gereja. Dalam kaitan ini, tugas ini semakin menjadi rumit
dengan melihat bahwa ada berbagai macam model dan pengaruh bentuk pemerintahan
gereja yang dapat ditemukan pada setiap organisasi gereja sekarang.
Arti
dan makna Gereja selalu dikaitkan dengan qahal
Jahwe – umat Tuhan, bangsa Allah dan ekklesia
tou Theou, orang-orang yang dipanggil Tuhan dan menjadi milik Tuhan, bangsa
Allah dan ekklesia tou Theou, orang-orang
yang dipanggil Tuhan dan yang menjadi milik Tuhan. Melalui pemahaman itu,
gereja dipahami sebagai orang yang dipanggil untuk bersekutu didalam dan oleh
Yesus Kristus. Kemudian Rasul Paulus memberikan gambaran simbolik, mistis dan
figuratif, yaitu gereja sebagai tubuh Kristus, dimana setiap orang percaya
adalah anggota tubuh, sementara Kristus sendiri adalah kepala tubuh
(1Kor.12:12-27: Efesus 4:15). Dengan demikian masih menurut Paulus, gereja
sebagai persekutuan orang percaya adalah keluarga Allah-familia Dei, yang dibangun diatas pengorbananYesus Kristus,
sehinggan diatas dasar itu pula gereja bertumbuh, rapih tersusun didalam Roh
(Efes.2:21-22 band 1Kor.3:11). Dengan demikian pemahaman tentang Gereja (Ekklesiologi) tidak lepas dari pemahan kristologi dan Pneumatologi yang ada pada akhirnya bertujuan untuk keselamatan
manusia (soteriologi).
Berdasarkan
pemahaman ekklesiologi inilah kehadiran gereja dipahami bukan berasal dari
dunia, bukan milik dunia, namun ia diutus ke tengah-tengah dunia. Keberadaan di
dunia ini mempunyai hubungan langsung dengan Negara dan pemerintahan dimana
gereja itu berada. Gereja dan pemerintahan adalah sama-sama wakil Allah, dapat
menjadi mitra untuk bekerja sama dalam pemeliharaan dunia ini. Dalam hubungan
antara Gereja dan pemerintahan dituntut ketegasan bagi gereja dalam menentukan
sikapnya. Jika gereja bersifat Kritis, positif dan realistis terhadap Negara
dan pemerintah dapat berjalan dengan baik dalam arti berjalan sesuai tugas dan
fungsi masing-masing.
Hubungan
antara Gereja (bisa juga dikatakan sebagai agama) dan Negara adalah masalah
yang sudah ada sejak dahulu kala dan akan selalu selama manusia masih hidup
bersama. Masalah akan dapat muncul jika gereja memahami dirinya berada dalam
kemutlakan tertentu yang dipahanmi harus berlaku dalam kehidupan manusia. Jika
hal seperti itu dilakukan pada masyarakat yang Homogen agamanya, barangkali tidak akan terjadi masalah tetapi jika
dalam masyarakat yang heterogen (majemuk)
maka akan menimbulkan persoalan.
1.2.Dasar dasar pemerintahan Gereja secara
historis
Secara tradisional
pemerintahan gereja atau church government yang dikenal terdiri dari tiga macam
tipe atau pola, yaitu episkopal (episcopal), presbiterian (prebyterian) dan
kongregasional (congregasional). Dalam perjalanan sejarah, ditemukan bahwa ada
sekurang-kurangnya tujuh (7) tipe atau pola pemerintahan gereja yang berkembang
selama ini. Pandangan mengenai bentuk-bentuk pemerintahan gereja dimaksud tidak
akan dibahas di sini. Yang akan didiskusikan adalah sistem kongregasional,
sinodal dan presbiterial saja.
A.
Pemerintahan Gereja menurut
Sistem Kongregasional.
L. Berkhof mengatakan bahwa
sistem kongregasional ini dapat disebut sebagai sistem independent. Sistem ini
menegaskan bahwa “setiap gereja lokal adalah suatu badan lengkap, yang tidak
tergantung dengan badan lain, bahkan tidak memiliki hubungan pemerintahan degan
gereja yang lain. Dalam sistem ini, kekuasaan gereja sepenuhnya berada pada
anggota Jemaat, yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri secara
independen dan penuh.” Para Pelayan gereja (pejabat gereja) adalah jabatan
fungsional untuk melayani Firman, mengajar dan melaksanakan urusan gereja
semata-mata. Apabila ada komunikasi yang dikehendaki oleh gereja sejenis, maka
mereka menyelesaikannya dengan mengadakan konsili, yang hanya mengeluarkan
“pernyataan” yang tidak mengikat satu dengan yang lainnya.
B. Pemerintahan
Gereja menurut system sinode
Istilah sinode atau synod (Inggris) yang berasal dari
kata Yunani synodos, atau synaxis yang berarti “Orang Kristen datang bersama,
berkumpul untuk mendiskusikan bisnis gereja.” Pengertian ini pada awal sejarah
gereja disebut “ecumenical” atau disebut juga “counsil” (konsili). Sinode pada
awalnya menjelaskan tentang “konsili gereja yang diikuti oleh wakil-wakil
berbagai gereja.
Dalam kaitan ini, dapatlah dikatakan bahwa pemerintahan gereja sistem sinodal adalah sistem yang memberikan peluang kepada para pemimpin dan jemaat-jemaat untuk berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan, dan menjalankan organisasi. Dalam praktiknya, sistem sinodal ini terlihat pada adanya hubungan langsung antara unsur pemimpin dan gereja-gereja lokal, dimana kewenangan terpusat juga didentralisasikan kepada gereja lokal dalam beberapa aspek khusus untuk mejalankan kepemimpinan secara desentralisasi.
Dalam kaitan ini, dapatlah dikatakan bahwa pemerintahan gereja sistem sinodal adalah sistem yang memberikan peluang kepada para pemimpin dan jemaat-jemaat untuk berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan, dan menjalankan organisasi. Dalam praktiknya, sistem sinodal ini terlihat pada adanya hubungan langsung antara unsur pemimpin dan gereja-gereja lokal, dimana kewenangan terpusat juga didentralisasikan kepada gereja lokal dalam beberapa aspek khusus untuk mejalankan kepemimpinan secara desentralisasi.
C.
Pemerintahan Gereja menurut
Sistem Presbiterian.
Pemerintahan gereja menurut sistem
presbiterian juga disebut sistem reformed, karena berakar kepada ajaran John
Calvin yang menggunakan peran para “gembala (the pastor), guru (the doctor),
diaken (the deacon) dan penatua (the presbyter atau the elder)” dalam pelayanan
gereja.
Dalam pemerintahan gereja sistem presbiterian ini, setiap gereja lokal adalah independen satu dengan dan dari yang lain, tetapi mereka diikat oleh suatu “ketentuan normatif yang sama dan pengakuan iman yang sama.” Sistem ini menegaskan bahwa setiap Jemaat dapat melakukan pelayanannya sendiri yang dipimpin oleh pendetanya, termasuk memanggil pendeta yang dikehendakinya yang diteguhkan oleh presbiteri. yang terdiri dari pendeta dan penatua yang mewakili gereja-gereja lokal. Sistem presbiterian juga memiliki Konperensi Umum atau General Asembly yang dihadiri oleh para pendeta dan presbiter untuk membuat keputusan-kepurtusan penting.
Dalam pemerintahan gereja sistem presbiterian ini, setiap gereja lokal adalah independen satu dengan dan dari yang lain, tetapi mereka diikat oleh suatu “ketentuan normatif yang sama dan pengakuan iman yang sama.” Sistem ini menegaskan bahwa setiap Jemaat dapat melakukan pelayanannya sendiri yang dipimpin oleh pendetanya, termasuk memanggil pendeta yang dikehendakinya yang diteguhkan oleh presbiteri. yang terdiri dari pendeta dan penatua yang mewakili gereja-gereja lokal. Sistem presbiterian juga memiliki Konperensi Umum atau General Asembly yang dihadiri oleh para pendeta dan presbiter untuk membuat keputusan-kepurtusan penting.
2.2. Hubungan
Gereja dan Negara.
Hubungan antara Gereja dan Negara pada abad I
sampai III, sangat sedikit dibicarakan. Hal ini disebabkan karena gereja masih
berbentuk gereja bawah tanah, dan gereja pada saat itu masih hidup diantara
pengharapan mesianik dimasa datang dan kekecewaan dimasa kini. Melihat hal ini,
maka dunia termasuk Negara dianggap sebagai hal yang sedang berlaku dalam suatu
proses menuju kepada kesudahanya. Pemahaman ini membentuk kecenderungan yang menjadikan
agama sebagai persoalan pribadi saja. Pada abad pertengahan hubungan antara
gereja dan Negara mengalami pasang surut. Secara silih berganti para penguasa
gereja dan Negara berlomba untuk mendominasi satu dengan yang lainya. Pada saat
Paus sekaligus menjadi pemimpin Negara yang berkuasa, maka gereja berubah wujud
menjadi Gereja Negara. Gereja mendominasi Negara sehingga segala sesuatu yang
berlaku dalam Negara ditentukan oleh Gereja. Demikian sebaliknya, pada saat
kaisar-kaisar berkuasa atau mendominasi gereja maka segala sesuatu yang berlaku
dalam gereja ditentukan oleh Negara.
Dalam pandangan Martin Luther, memahami bahwa
jarak pemisah antara kekuasaan gereja dan Negara sedapat mungkin harus
dihilangkan. Disamping itu Luther melihat eksistensi Negara pada saat itu tidak
dalam preseptik hokum kodratif, melainkan dari perspektif kejatuhan manusia
kedalam dosa. Artiinya, seandainya dosa tidak ada, maka yang berlaku adalah
hokum kasih dimana tidak ada lagi kekuasaan manusia atas manusia, sehingga pun
kekuasaan Negara pun tidak ada.
Mungkin Paulus menuliskan perikop ini untuk memisahkan
kekristenan dari pemberontakan Yudaisme dan untuk menjelaskan bahwa kekristenan
dan kewarganegaraan yang baik bisa bersahabat dan berjalan bersama-sama.
Ada 3 kebenaran yang diajarkan melalui perikop ini:
- Kekuasaan dan anugerah Allah
Pemerintah
berasal dari Allah dan ditetapkan oleh Allah (Rom 13:1)
"Tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari
Allah". Ada beberapa kebenaran yang tersirat dari frase ini:
Pertama, bahwa kita harus takluk kepada penguasa sebab mereka adalah
mewakili Allah. Bila menghadapi penguasa, kita tidak sekadar berurusan dengan
manusia yang sederajat, tetapi secara tidak langsung berurusan dengan Tuhan
sendiri. Kedua, bahwa Keberadaan pemerintah berdasar pada ketetapan
Allah. Dasarnya bukanlah kepercayaan bahwa orang atau golongan tertentu
merupakan keturunan dewa. Bukan juga kepercayaan pada kesaktian seseorang
yang dianggap telah menerima wahyu. Dasarnya bukan juga kekerasan senjata atau
kemauan rakyat semata-mata.
Persoalannya adalah, yang duduk dalam pemerintahan
seharusnya adalah orang-orang yang pantas, yang mengusahakan kesejahteraan
masyarakat, namun kenyataannya, tidak ada pemerintahan yang baik. Pemerintah
dipilih oleh manusia, dari kelompok tertentu, dan ada rekayasa politik di
dalamnya sehingga terpilihlah orang-orang yang tidak layak yang
mengusahakan kepentingan sendiri, kebutuhan keluarga. Kita mungkin
bertanya bagaimana menghadapi pemerintahan yang begini? Apakah Allah menetapkan
pemerintahan yang begini?.
Ternyata ini bukan masalah zaman ini saja. Orang
Roma termasuk Paulus sjuga mengalami pemerintahan yang tidak kalah
buruknya, tapi dalam suratnya Paulus tetap menggunakan kalimat imperatif,
“harus”, Seakan-akan untuk orang Kristen tidak ada pilihan. Tuhan
mengijinkan berjalannya pemerintahan yang kurang baik supaya orang
Kristen dapat menunjukan perannya lebih baik baik di dalam doa dan juga dalam
tindakan. Kebenaran bahwa pemerintah berasal dan ditetapkan Allah tidak bisa
direvisi, sehingga kita harus tetap hormat kepada mereka. Ini memang
sebuah misteri Allah, di satu sisi Allah menetapkan pemerintahan dan meminta
kita taat dan hormati, di sisi lain pemerintahan yang ada tidak
menjalankan fungsinya dengan baik. Bagaimanapun orang Kristen harus puas dengan
misteri itu.
Pemerintah adalah hamba Allah. (Rom 13:4)
Pemerintah adalah hamba Allah (Rom 13:4). Kata hamba yang
dipakai di sini dalam bahasa aslinya adalah diakonos/ pelayan.
Artinya adalah pelayan Tuhan yang mewakili semua maksud Tuhan.
Pemerintah dipercayai masyarakat Romawi sebagai utusan Tuhan untuk memimpin dan
mengatur semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan.
Orang Kristen harus tunduk kepada pemerintah
karena pemerintah adalah hamba Allah. Karena pemerintah adalah hamba Allah
maka dia harus menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan keinginan Allah
bukan melalui keinginan pribadi untuk memenuhi ambisi tertentu.
Istilah itu bertentangan dengan pandangan orang Yunani
dan Romawi tentang negara. Kaum abdi negara memang "hamba" , tetapi
negara sendiri tidak berhamba kepada siapa pun juga, negara merupakan penguasa
tertinggi yang menuntut loyalitas (kesetiaan) mutlak dari rakyat. Pada zaman
Paulus tuntutan itu sudah mulai berwujud dalam kultus kaisar (persembahan
kurban kepada roh kaisar sebagai perwujudan negara). Di sini Paulus tidak
langsung mempersoalkan loyalitas kepada negara, bahkan ia menyuruh orang Kristen
taat kepada negara. Namun, ketaatan itu ditempatkannya dalam kerangka yang sama
sekali baru dengan menyebut pemerintah sebagai hamba Allah.
Kebenaran ini sekaligus menjadi batasan untuk pemerintah.
Di dalam semua kebijakannya, mereka harus bisa mewakili Tuhan yang mengatur
segala sesuatu untuk kebaikan warganya. Kebenaran ini juga sebagai batasan bagi
orang Kristen. Jika pemeritah mengambil kebijakan yang melawan Tuhan,
maka kita harus sadar bahwa kita harus tetap lebih patuh pada Allah, sebab pemerintah
adalah hamba Allah.
Rasul Petrus pun memberikan suatu pengecualian pada suatu
keadaan tertentu bahwa warga negara juga dapat "tidak mentaati"
penguasa jikalau penguasa itu menuntut sesuatu yang menjadi milik Allah.
Kata-kata Petrus sendiri di hadapan Sandherin menunjukkan kenyataan
tersebut "Silakan kamu putuskan sendiri manakah yang benar di hadapan
Allah: taat kepada kamu atau taat kepada Allah." (Kisah 4:19).
- Ketundukan Terhadap pemerintah adalah kewajiban
Kata "takluk" (ay.1a) dalam bahasa aslinya
hupotassô , kata ini muncul tiga puluh kali dalam PB yang artinya
"menempatkan diri di bawah". Kata hupotassô muncul beberapa
kali dalam PB dan merupakan sikap yang harus diambil seorang Kristen
terhadap Allah (Yak 4:7) dan hukum Allah (Rom 8:7), terhadap Kristus (Ef 5:24),
tetapi juga terhadap para pelayan gereja (1 Kor 16:16). Menurut Efesus 5:22,
seorang istri Kristen harus takluk kepada suaminya, dan menurut 1 Petrus 2:18
seorang budak Kristen kepada tuannya. Tetapi Efesus 5:21 menyatakan bahwa
anggota jemaat harus takluk (LAI: merendahkan diri) yang seorang kepada yang
lain.
Menurut pola dunia ini, orang takluk kepada penguasa atau
kepada orang lain disebabkan karena takut, atau karena mengharapkan
sesuatu. Seorang yang berkuasa tidak akan takluk pada orang lain yang
kelihatannya levelnya di bawah. Tetapi Firman Tuhan meminta orang Kristen
takluk karena alasan lain, yaitu karena Tuhan menghendakinya. Di dalam Efesus
5:21Paulus berkata, "rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam
takut akan Kristus, sehingga tak seorang pun boleh menganggap dirinya
dibebaskan dari kewajiban takluk. Di mana pun kasih berkuasa, di situ orang
saling melayani
Kata takluk yang dimaksudkan dalam teks ini
bukan sekedar taat dan patuh terhadap pemerintah, tetapi bagaimana
seorang warga negara (baik orang kaya-miskin, jenderal, polisi, pegawai negeri,
pejabat pemerintahan) bisa menempatkan dirinya berada di bawah sesama manusia
yang mempunyai jabatan yang lebih tinggi darinya. LAI menerjemahkan
"pemerintah", (ay.1a) dalam bahasa asli memakai bentuk jamak yang
diterjemakan "penguasa-penguasa". Dengan demikian nasihat ini menjadi
lebih konkret. Yang dimaksud bukan sekedar pemerintah yang nun jauh di
sana, tetapi juga orang yang berwenang, para pejabat sipil, petugas kepolisian,
dll yang berada di sekitar kita. Kita harus takluk kepada mereka. Ayat 7
memberikan penegasan akan hal ini "Bayarlah kepada semua orang apa yang
harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada
orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima
rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat."
Ketundukan kepada pemerintah tidak hanya diberikan dengan
sikap hormat saja, tetapi dengan tindakan yang real yaitu dengan membayar
pajak. Untuk melakukan pembayaran pajak ini, dibutuhkan sebuah kerendahan
hati dari seluruh warga negara Roma untuk mengakui bahwa ini adalah
ketetapan yang berasal dari Allah. Pada zaman Paulus, pajak
merupakan iuran yang wajib dibayar oleh rakyat sebagai sumbangan kepada negara.
Ada banyak macam pajak menurut apa yang di pakai dasar pemungutan iuran itu,
seperti tanah, jalan, kekayaan, pembangunan, pendapatan, pajak
perseorangan, orang Yahudi membayar pula pajak bait suci sebanyak dua
dirham setahun (Mat. 17:24) dan berbagai kewajiban pajak lain (Mrk.
2:14). Menurut Rom. 13: 6, dan 7, Paulus menganggap salah satu kesetiaan
kepada pemerintah adalah membayar pajak.
Paulus mengatakan bahwa orang Kristen wajib
membayar pajak sebagai pengakuan bahwa ungkapkan dalam ayat 3-4 bukan omong
kosong belaka, sebab dengan membayar pajak, orang Kristen memperlihatkan bahwa
mereka rela takluk kepada pemerintah sekaligus menjadi pengakuan bahwa
pemerintah adalah hamba Allah (ayat 3-4).
- Taat pada pemerintah adalah hal serius
Keseriusannya terlihat dari konsekuensinya
Orang yang tidak tunduk kepada pemerintah
dianggap melawan ketetapan Allah. dan konsekuensinya berat, yaitu "akan
mendatangkan hukuman atas dirinya". Hukuman itu juga merupakan hukuman
Allah, Ia akan mempertahankan ketetapan-Nya dan menghukum mereka yang melanggar
ketetapan itu.
Peringatan dalam ayat 2 ini tidak ada
dalam 1 Timotius 2:1; Titus 3:1; 1 Petrus 2.13-17 yang juga berbicara tentang
sikap orang Kriten terhadap pemerintah. Maka perlu kita
pertanyakan, mengapa Paulus menganggap perlu dengan begitu tegas
menyatakan hukuman kepada mereka yang melawan pemerintah? Kemungkinan karena
jemaat di Roma bersimpati pada gerakan kaum Zelot atau orang
Kristen di Roma terhanyut oleh keyakinan bahwa akhir zaman sudah dekat sehingga
mereka memandang rendah segala hal duniawi, termasuk negara. Itu sebabnya
Paulus menyadarkan mereka akan sebuah aspek penting yaitu untuk menghargai
pemerintah.
Keseriusannya terlihat bagaimana Tuhan menyadarkan
kita melalui suara hati (ay.5)
Setiap orang Kristen harusnya memiliki kesadaran untuk
tunduk kepada pemerintah karena pemerintah merupakan hamba Allah. Allah melalui
Paulus mengatakan kepada seluruh manusia supaya takluk bukan hanya karena
kemurkaan Allah (ay.5a) tetapi karena dorongan suara hati (ay.5a). Allah ingin
supaya manusia benar-benar memahami hal ini. Itu sebabnya Ia
menanamkannya di dalam hati nurani kita, bahwa pemerintahan itu ada karena
ketetapan Allah dan mereka menjadi hamba Allah untuk menjalankan roda
kepemimpinan yang ada di dunia.
2.2. Hukum Gereja
Kata "hukum gereja" secara
langsung mengarah kepada peraturan-peraturan dalam gereja. J. L. Ch. Abineno, mengartikan hukum gereja sebagai peraturan gereja yang digunakan untuk menata dan
mengatur kehidupan pelayanan dalam gereja.[1] Demikian juga dengan definisi yang
diberikan oleh Dr. M. H. Bolkestein, yang menyatakan bahwa hukum gereja merupakan aturan
tentang perbuatan dan kehidupan gereja untuk menyatakan gereja sebagai Tubuh Yesus. Namun sesungguhnya, hukum gereja tidak hanya sekadar
mengenai peraturan. Cakupan hukum gereja lebih luas dari sekadar aturan, sebab
berbicara mengenai pertanggungjawaban teologis dari aturan gereja.
Keberadaan aturan dalam gereja adalah sebuah kenyataan
yang tidak dapat dihindari. Setiap gereja—baik yang baru dirintis maupun yang
telah mapan dalam proses pelembagaan—tentunya memiliki aturan untuk menata
dirinya. Aturan gereja berhubungan dengan seluruh fase kehidupan setiap
anggotanya. Anggota gereja terikat dengan aturan gereja. Aturan gereja menjadi
hal yang tidak terhindarkan dalam gereja.
Sebagai hal yang tidak terhindarkan dalam gereja,
penyusunan aturan gereja dilandaskan pada hakikat gereja. Proses pelembagaan
gereja adalah bagian dari usaha gereja untuk terus mengkontekstualisasikan
cerita keselamatan Allah Tritunggal dan mewujudnyatakan karya keselamatan Allah
Tritunggal bagi dunia. Usaha ini dilaksanakan oleh gereja hingga sampai pada
eskaton. Hakikat gereja ini sekaligus menegaskan bahwa sebagai lembaga gereja
tidak dapat disamakan dengan lembaga lainnya, sehingga penyusunan aturan dalam
gereja disusun dengan dilandasi pada eklesiologi sebagai rumusan teologis-sistematis mengenai pemahaman gereja tentang
dirinya.
Pendasaran eklesiologi menjadikan peraturan-peraturan
dalam gereja tidak hanya memiliki makna teologis yang baik, tetapi sekaligus
mampu menjawab kebutuhan dan pergumulan hidup jemaat. Eklesiologi selalu berada
dalam ruang dan waktu tertentu sebab eklesiologi lahir dalam konteks pergumulan
gereja tertentu. Konteks gereja yang berbeda, menghasilkan pemaknaan diri yang
juga berbeda. Pemaknaan diri dapat terbentuk dengan baik bila gereja mengenal
konteks pelayanannya dengan baik. Jika aturan gereja disusun dengan didasarkan
pada eklesiologi, dengan sendirinya aturan gereja hadir dari kebutuhan konteks
pelayanannya.
Pendasaran hukum gereja pada
eklesiologi berbeda dari pendekatan penataan/pemerintahan (stelsel). Pendekatan penataan
memberikan penekanan pada penyusunan aturan gereja yang diteruskan karena
tradisi. Sistem penataan yang terpaku pada sistem episkopal, kongregasional, dan presbiterial
sinodal, dapat
menjebak gereja untuk mempertahankan tradisi tanpa peka terhadap tuntutan
perubahan konteks pelayanannya. Tradisi hanyalah salah satu sumber pemaknaan
diri gereja (eklesiologi).
Ø Fungsi
v Memampukan gereja untuk melayani sesuai
dengan hakikat dirinya.
Hukum
gereja sebagai salah satu studi teologi yang
secara sistematis mengkaji prinsip-prinsip ekklesiologis dari aturan-aturan dalam gereja memampukan
gereja untuk menyusun aturan sesuai dengan hekekat dirinya. Pengenalan diri
yang baik memampukan gereja untuk tidak dengan mudah untuk mengambil alih
aturan-aturan pemerintahan atau lembaga lainnya untuk menyusun aturan gereja.
Gereja tidak hadir karena
dirinya dan oleh dirinya. Gereja hadir sebagai karya Allah Tritungal untuk
menjalankan misi Allah Tritunggal. Dalam kesadaran ini gereja menata dirinya
sehingga mampu melayani sesuai dengan hakikat dirinya. Dari sudut pandang ini
terlihat bahwa adanya aturan dalam gereja merupakan sebuah komitmen iman gereja
untuk menata diri dan melayani sesuai hakikat dirinya.
v Membantu gereja untuk mewujudnyatakan
kehadirannya.
Pendasaran
eklesiologi terhadap aturan dalam gereja menuntut pengenalan konteks pelayanan.
Melalui pengenalan konteks pelayanan, kekayaan dan kebutuhan jemaat dapat
terbaca dengan jelas. Dengan didasarkan pada pergumulan jemaat inilah gereja
menata dirinya. Jabatan, persidangan, relasi, dan hal-hal lain yang diatur oleh
aturan gereja disistimatisasikan sesuai pergumulan konteks pelayanan jemaat.
Melalui proses ini gereja tidak hanya akan hadir tetapi menyentuh kebutuhan
nyata dari anggotanya. Aturan gereja membantu gereja untuk mewujudnyataan
kehadirannya.
Ø Tujuan
Hukum
gereja tidak bertujuan pada dirinya sendiri. Pendasaran eklesiologi terhadap
aturan gereja memampukan gereja untuk melayani sesuai dengan hekakat dirinya
dan dengan demikian gereja menjadi gereja yang nyata. Penataan diri yang sesuai
dengan hakikat diri menjadikan proses pembangunan jemaat dapat berjalan dengan
baik. Adanya aturan gereja jangan sampai menjadi batu sandungan bagi
pembangunan jemaat. Hukum gereja menjadi alat bagi pembangunan jemaat.
Kesimpulan:
Gereja dan
negara merupakan dua institusi yang berbeda. Namun keduanya memiliki hubungan
yang erat. Jemaat gereja sekaligus adalah warga negara, oleh karena itu
seharusnya terbina hubungan yang baik antara gereja dan negara. Sejarah telah memperlihatkan
bahwa gereja yang menguasai negara membawa kepada masa kegelapan gereja.
Demikian halnya dengan masa dimana negara menguasai gereja, ini adalah masa
yang suram di dalam perkembangan kekristenan. Solusi yang terbaik adalah
membiarkan keduanya tetap berbeda namun berjalan dalam terang Firman-Nya.
Setiap individu dalam gereja wajib tunduk pada negara, namun pemerintah
menjalankan roda pemerintahan sebagai wakil Allah yang dengan hikmat melindungi
dan mengusahakan kebaikan warga negaranya.
Comments
Post a Comment