KUASA DAN PEMERINTAHAN GEREJA


 
1.1.PEMERINTAHAN GEREJA 

Penggunaan istilah istilah “pemerintahan gereja” berakar dalam sejarah dan pergumulan gereja, sehingga dalam penggunaannya, pemerintahan gereja sering dipertentangkan dengan organisasi atau paling tidak ada kesulitan menyelaraskannya, untuk menerapkanya pada suatu organisasi gereja. Dalam kaitan ini, tugas ini semakin menjadi rumit dengan melihat bahwa ada berbagai macam model dan pengaruh bentuk pemerintahan gereja yang dapat ditemukan pada setiap organisasi gereja sekarang.
Arti dan makna Gereja selalu dikaitkan dengan qahal Jahwe – umat Tuhan, bangsa Allah dan ekklesia tou Theou, orang-orang yang dipanggil Tuhan dan menjadi milik Tuhan, bangsa Allah dan ekklesia tou Theou, orang-orang yang dipanggil Tuhan dan yang menjadi milik Tuhan. Melalui pemahaman itu, gereja dipahami sebagai orang yang dipanggil untuk bersekutu didalam dan oleh Yesus Kristus. Kemudian Rasul Paulus memberikan gambaran simbolik, mistis dan figuratif, yaitu gereja sebagai tubuh Kristus, dimana setiap orang percaya adalah anggota tubuh, sementara Kristus sendiri adalah kepala tubuh (1Kor.12:12-27: Efesus 4:15). Dengan demikian masih menurut Paulus, gereja sebagai persekutuan orang percaya adalah keluarga Allah-familia Dei, yang dibangun diatas pengorbananYesus Kristus, sehinggan diatas dasar itu pula gereja bertumbuh, rapih tersusun didalam Roh (Efes.2:21-22 band 1Kor.3:11). Dengan demikian pemahaman tentang Gereja (Ekklesiologi) tidak lepas dari pemahan kristologi dan Pneumatologi yang ada pada akhirnya bertujuan untuk keselamatan manusia (soteriologi).
Berdasarkan pemahaman ekklesiologi inilah kehadiran gereja dipahami bukan berasal dari dunia, bukan milik dunia, namun ia diutus ke tengah-tengah dunia. Keberadaan di dunia ini mempunyai hubungan langsung dengan Negara dan pemerintahan dimana gereja itu berada. Gereja dan pemerintahan adalah sama-sama wakil Allah, dapat menjadi mitra untuk bekerja sama dalam pemeliharaan dunia ini. Dalam hubungan antara Gereja dan pemerintahan dituntut ketegasan bagi gereja dalam menentukan sikapnya. Jika gereja bersifat Kritis, positif dan realistis terhadap Negara dan pemerintah dapat berjalan dengan baik dalam arti berjalan sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
Hubungan antara Gereja (bisa juga dikatakan sebagai agama) dan Negara adalah masalah yang sudah ada sejak dahulu kala dan akan selalu selama manusia masih hidup bersama. Masalah akan dapat muncul jika gereja memahami dirinya berada dalam kemutlakan tertentu yang dipahanmi harus berlaku dalam kehidupan manusia. Jika hal seperti itu dilakukan pada masyarakat yang Homogen agamanya, barangkali tidak akan terjadi masalah tetapi jika dalam masyarakat yang heterogen (majemuk) maka akan menimbulkan persoalan.
1.2.Dasar dasar pemerintahan Gereja secara historis
Secara tradisional pemerintahan gereja atau church government yang dikenal terdiri dari tiga macam tipe atau pola, yaitu episkopal (episcopal), presbiterian (prebyterian) dan kongregasional (congregasional). Dalam perjalanan sejarah, ditemukan bahwa ada sekurang-kurangnya tujuh (7) tipe atau pola pemerintahan gereja yang berkembang selama ini. Pandangan mengenai bentuk-bentuk pemerintahan gereja dimaksud tidak akan dibahas di sini. Yang akan didiskusikan adalah sistem kongregasional, sinodal dan presbiterial saja.
A.    Pemerintahan Gereja menurut Sistem Kongregasional.
L. Berkhof mengatakan bahwa sistem kongregasional ini dapat disebut sebagai sistem independent. Sistem ini menegaskan bahwa “setiap gereja lokal adalah suatu badan lengkap, yang tidak tergantung dengan badan lain, bahkan tidak memiliki hubungan pemerintahan degan gereja yang lain. Dalam sistem ini, kekuasaan gereja sepenuhnya berada pada anggota Jemaat, yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri secara independen dan penuh.” Para Pelayan gereja (pejabat gereja) adalah jabatan fungsional untuk melayani Firman, mengajar dan melaksanakan urusan gereja semata-mata. Apabila ada komunikasi yang dikehendaki oleh gereja sejenis, maka mereka menyelesaikannya dengan mengadakan konsili, yang hanya mengeluarkan “pernyataan” yang tidak mengikat satu dengan yang lainnya.
B.     Pemerintahan Gereja menurut system sinode
               Istilah sinode atau synod (Inggris) yang berasal dari kata Yunani synodos, atau synaxis yang berarti “Orang Kristen datang bersama, berkumpul untuk mendiskusikan bisnis gereja.” Pengertian ini pada awal sejarah gereja disebut “ecumenical” atau disebut juga “counsil” (konsili). Sinode pada awalnya menjelaskan tentang “konsili gereja yang diikuti oleh wakil-wakil berbagai           gereja.    
Dalam kaitan ini, dapatlah dikatakan bahwa pemerintahan gereja sistem sinodal adalah sistem yang memberikan peluang kepada para pemimpin dan jemaat-jemaat untuk berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan, dan menjalankan organisasi. Dalam praktiknya, sistem sinodal ini terlihat pada adanya hubungan langsung antara unsur pemimpin dan gereja-gereja lokal, dimana kewenangan terpusat juga didentralisasikan kepada gereja lokal dalam beberapa aspek khusus untuk mejalankan kepemimpinan secara desentralisasi.
C.    Pemerintahan Gereja menurut Sistem Presbiterian.
Pemerintahan gereja menurut sistem presbiterian juga disebut sistem reformed, karena berakar kepada ajaran John Calvin yang menggunakan peran para “gembala (the pastor), guru (the doctor), diaken (the deacon) dan penatua (the presbyter atau the elder)” dalam pelayanan gereja.
Dalam pemerintahan gereja sistem presbiterian ini, setiap gereja lokal adalah independen satu dengan dan dari yang lain, tetapi mereka diikat oleh suatu “ketentuan normatif yang sama dan pengakuan iman yang sama.” Sistem ini menegaskan bahwa setiap Jemaat dapat melakukan pelayanannya sendiri yang dipimpin oleh pendetanya, termasuk memanggil pendeta yang dikehendakinya yang diteguhkan oleh presbiteri. yang terdiri dari pendeta dan penatua yang mewakili gereja-gereja lokal. Sistem presbiterian juga memiliki Konperensi Umum atau General Asembly yang dihadiri oleh para pendeta dan presbiter untuk membuat keputusan-kepurtusan penting.
2.2. Hubungan Gereja dan Negara.
Hubungan antara Gereja dan Negara pada abad I sampai III, sangat sedikit dibicarakan. Hal ini disebabkan karena gereja masih berbentuk gereja bawah tanah, dan gereja pada saat itu masih hidup diantara pengharapan mesianik dimasa datang dan kekecewaan dimasa kini. Melihat hal ini, maka dunia termasuk Negara dianggap sebagai hal yang sedang berlaku dalam suatu proses menuju kepada kesudahanya. Pemahaman ini membentuk kecenderungan yang menjadikan agama sebagai persoalan pribadi saja. Pada abad pertengahan hubungan antara gereja dan Negara mengalami pasang surut. Secara silih berganti para penguasa gereja dan Negara berlomba untuk mendominasi satu dengan yang lainya. Pada saat Paus sekaligus menjadi pemimpin Negara yang berkuasa, maka gereja berubah wujud menjadi Gereja Negara. Gereja mendominasi Negara sehingga segala sesuatu yang berlaku dalam Negara ditentukan oleh Gereja. Demikian sebaliknya, pada saat kaisar-kaisar berkuasa atau mendominasi gereja maka segala sesuatu yang berlaku dalam gereja ditentukan oleh Negara.
Dalam pandangan Martin Luther, memahami bahwa jarak pemisah antara kekuasaan gereja dan Negara sedapat mungkin harus dihilangkan. Disamping itu Luther melihat eksistensi Negara pada saat itu tidak dalam preseptik hokum kodratif, melainkan dari perspektif kejatuhan manusia kedalam dosa. Artiinya, seandainya dosa tidak ada, maka yang berlaku adalah hokum kasih dimana tidak ada lagi kekuasaan manusia atas manusia, sehingga pun kekuasaan Negara pun tidak ada.
Mungkin Paulus menuliskan perikop ini untuk memisahkan kekristenan dari pemberontakan Yudaisme dan untuk menjelaskan bahwa kekristenan dan kewarganegaraan yang baik bisa bersahabat dan berjalan bersama-sama.
Ada 3 kebenaran yang diajarkan melalui perikop ini:
  1. Kekuasaan dan anugerah Allah
Pemerintah berasal dari Allah  dan ditetapkan oleh Allah (Rom 13:1)
"Tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah". Ada beberapa kebenaran yang tersirat dari frase ini:  Pertama, bahwa kita harus takluk kepada penguasa sebab mereka adalah  mewakili Allah. Bila menghadapi penguasa, kita tidak sekadar berurusan dengan manusia yang sederajat, tetapi secara tidak langsung berurusan dengan Tuhan sendiri.  Kedua, bahwa Keberadaan pemerintah berdasar pada  ketetapan Allah. Dasarnya bukanlah kepercayaan bahwa orang atau golongan tertentu merupakan keturunan dewa. Bukan juga kepercayaan pada kesaktian  seseorang yang dianggap telah menerima wahyu. Dasarnya bukan juga kekerasan senjata atau kemauan rakyat semata-mata. 
Persoalannya adalah, yang duduk dalam pemerintahan seharusnya adalah orang-orang yang pantas, yang mengusahakan kesejahteraan masyarakat, namun kenyataannya, tidak ada pemerintahan yang baik. Pemerintah dipilih oleh manusia, dari kelompok tertentu, dan ada rekayasa politik di dalamnya sehingga terpilihlah orang-orang yang tidak layak yang mengusahakan  kepentingan sendiri, kebutuhan keluarga. Kita mungkin bertanya bagaimana menghadapi pemerintahan yang begini? Apakah Allah menetapkan pemerintahan yang begini?. 
Ternyata ini bukan masalah zaman ini saja. Orang  Roma termasuk Paulus sjuga mengalami pemerintahan yang tidak kalah buruknya,  tapi dalam suratnya Paulus tetap menggunakan kalimat imperatif, “harus”,  Seakan-akan untuk orang Kristen tidak ada pilihan.  Tuhan mengijinkan berjalannya pemerintahan  yang kurang  baik supaya orang Kristen dapat menunjukan perannya lebih baik baik di dalam doa dan juga dalam tindakan. Kebenaran bahwa pemerintah berasal dan ditetapkan Allah tidak bisa direvisi, sehingga kita harus tetap hormat kepada mereka.  Ini memang sebuah misteri Allah, di satu sisi Allah menetapkan  pemerintahan dan meminta kita taat dan hormati, di sisi lain pemerintahan yang ada tidak  menjalankan fungsinya dengan baik. Bagaimanapun orang Kristen harus puas dengan misteri itu.
Pemerintah adalah hamba Allah. (Rom 13:4)
Pemerintah adalah hamba Allah (Rom 13:4). Kata hamba yang dipakai di sini dalam bahasa aslinya adalah  diakonos/ pelayan. Artinya  adalah  pelayan Tuhan yang mewakili semua maksud Tuhan. Pemerintah dipercayai masyarakat Romawi sebagai utusan Tuhan untuk memimpin dan mengatur semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan.
Orang Kristen harus tunduk kepada  pemerintah karena pemerintah adalah hamba Allah. Karena pemerintah adalah hamba Allah maka dia harus menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan keinginan Allah bukan melalui keinginan pribadi untuk memenuhi ambisi tertentu.
Istilah itu bertentangan dengan pandangan orang Yunani dan Romawi tentang negara. Kaum abdi negara memang "hamba" , tetapi negara sendiri tidak berhamba kepada siapa pun juga, negara merupakan penguasa tertinggi yang menuntut loyalitas (kesetiaan) mutlak dari rakyat. Pada zaman Paulus tuntutan itu sudah mulai berwujud dalam kultus kaisar (persembahan kurban kepada roh kaisar sebagai perwujudan negara). Di sini Paulus tidak langsung mempersoalkan loyalitas kepada negara, bahkan ia menyuruh orang Kristen taat kepada negara. Namun, ketaatan itu ditempatkannya dalam kerangka yang sama sekali baru dengan menyebut pemerintah sebagai hamba Allah.
Kebenaran ini sekaligus menjadi batasan untuk pemerintah. Di dalam semua kebijakannya, mereka harus bisa mewakili Tuhan yang mengatur segala sesuatu untuk kebaikan warganya. Kebenaran ini juga sebagai batasan bagi orang Kristen. Jika pemeritah mengambil kebijakan yang  melawan Tuhan, maka kita harus sadar bahwa kita harus tetap lebih patuh pada Allah, sebab pemerintah adalah hamba Allah.
Rasul Petrus pun memberikan suatu pengecualian pada suatu keadaan tertentu bahwa warga negara juga dapat "tidak mentaati" penguasa jikalau penguasa itu menuntut sesuatu yang menjadi milik Allah. Kata-kata Petrus sendiri di hadapan Sandherin menunjukkan kenyataan tersebut "Silakan kamu putuskan sendiri manakah yang benar di hadapan Allah: taat kepada kamu atau taat kepada Allah." (Kisah 4:19).



  1. Ketundukan Terhadap pemerintah adalah kewajiban
Kata "takluk" (ay.1a) dalam bahasa aslinya hupotassô , kata ini muncul tiga puluh kali dalam PB yang artinya  "menempatkan diri di bawah". Kata hupotassô  muncul beberapa kali dalam PB dan merupakan  sikap yang harus diambil seorang Kristen terhadap Allah (Yak 4:7) dan hukum Allah (Rom 8:7), terhadap Kristus (Ef 5:24), tetapi juga terhadap para pelayan gereja (1 Kor 16:16). Menurut Efesus 5:22, seorang istri Kristen harus takluk kepada suaminya, dan menurut 1 Petrus 2:18 seorang budak Kristen kepada tuannya. Tetapi Efesus 5:21 menyatakan bahwa anggota jemaat harus takluk (LAI: merendahkan diri) yang seorang kepada yang lain.
Menurut pola dunia ini, orang takluk kepada penguasa atau kepada orang lain disebabkan karena  takut, atau karena mengharapkan sesuatu. Seorang  yang berkuasa tidak akan takluk pada orang lain yang kelihatannya levelnya di bawah. Tetapi Firman Tuhan meminta  orang Kristen takluk karena alasan lain, yaitu karena Tuhan menghendakinya. Di dalam Efesus 5:21Paulus berkata, "rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus, sehingga tak seorang pun boleh menganggap dirinya dibebaskan dari kewajiban takluk. Di mana pun kasih berkuasa, di situ orang saling melayani
Kata takluk yang dimaksudkan dalam teks ini bukan sekedar  taat dan patuh terhadap pemerintah, tetapi bagaimana seorang warga negara (baik orang kaya-miskin, jenderal, polisi, pegawai negeri, pejabat pemerintahan) bisa menempatkan dirinya berada di bawah sesama manusia yang mempunyai jabatan yang lebih tinggi darinya.  LAI menerjemahkan  "pemerintah", (ay.1a) dalam bahasa asli memakai bentuk jamak yang diterjemakan "penguasa-penguasa". Dengan demikian nasihat ini menjadi lebih konkret.  Yang dimaksud bukan sekedar pemerintah yang nun jauh di sana, tetapi juga orang yang berwenang, para pejabat sipil, petugas kepolisian, dll yang berada di sekitar kita.  Kita harus takluk kepada mereka. Ayat 7 memberikan penegasan akan hal ini "Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat."
Ketundukan kepada pemerintah tidak hanya diberikan dengan sikap hormat saja, tetapi dengan tindakan yang real yaitu dengan membayar pajak.  Untuk melakukan pembayaran pajak ini, dibutuhkan sebuah kerendahan hati dari seluruh warga negara Roma untuk mengakui bahwa ini adalah  ketetapan yang berasal dari Allah.  Pada  zaman Paulus, pajak merupakan iuran yang wajib dibayar oleh rakyat sebagai sumbangan kepada negara. Ada banyak macam pajak menurut apa yang di pakai dasar pemungutan iuran itu, seperti tanah, jalan, kekayaan, pembangunan, pendapatan, pajak perseorangan,  orang Yahudi membayar pula pajak bait suci sebanyak dua dirham setahun (Mat. 17:24) dan berbagai kewajiban pajak lain (Mrk. 2:14). Menurut Rom. 13: 6, dan 7, Paulus menganggap salah satu kesetiaan kepada pemerintah adalah  membayar pajak.
Paulus mengatakan bahwa orang Kristen wajib  membayar pajak sebagai pengakuan bahwa ungkapkan dalam ayat 3-4 bukan omong kosong belaka, sebab dengan membayar pajak, orang Kristen memperlihatkan bahwa mereka rela takluk kepada pemerintah sekaligus menjadi pengakuan bahwa pemerintah adalah hamba Allah (ayat 3-4).
  1. Taat pada pemerintah adalah hal serius
Keseriusannya terlihat dari konsekuensinya
Orang yang tidak tunduk kepada pemerintah dianggap melawan ketetapan Allah. dan konsekuensinya berat, yaitu "akan mendatangkan hukuman atas dirinya". Hukuman itu juga merupakan hukuman Allah, Ia akan mempertahankan ketetapan-Nya dan menghukum mereka yang melanggar ketetapan itu.
Peringatan dalam ayat 2 ini tidak ada dalam 1 Timotius 2:1; Titus 3:1; 1 Petrus 2.13-17 yang juga berbicara tentang sikap orang Kriten terhadap pemerintah. Maka perlu kita pertanyakan, mengapa Paulus menganggap perlu dengan begitu tegas menyatakan hukuman kepada mereka yang melawan pemerintah? Kemungkinan karena jemaat  di Roma bersimpati pada gerakan kaum Zelot atau orang Kristen di Roma terhanyut oleh keyakinan bahwa akhir zaman sudah dekat sehingga mereka memandang rendah segala hal duniawi, termasuk negara. Itu sebabnya Paulus menyadarkan mereka akan sebuah aspek penting yaitu untuk menghargai pemerintah.
Keseriusannya terlihat bagaimana Tuhan menyadarkan kita  melalui  suara hati (ay.5)
Setiap orang Kristen harusnya memiliki kesadaran untuk tunduk kepada pemerintah karena pemerintah merupakan hamba Allah. Allah melalui Paulus mengatakan kepada seluruh manusia supaya takluk bukan hanya karena kemurkaan Allah (ay.5a) tetapi karena dorongan suara hati (ay.5a). Allah ingin supaya manusia benar-benar memahami  hal ini. Itu sebabnya Ia menanamkannya di dalam hati nurani kita, bahwa pemerintahan itu ada karena ketetapan Allah dan mereka menjadi hamba Allah untuk menjalankan roda kepemimpinan yang ada di dunia.


2.2. Hukum Gereja
Kata "hukum gereja" secara langsung mengarah kepada peraturan-peraturan dalam gereja. J. L. Ch. Abineno, mengartikan hukum gereja sebagai peraturan gereja yang digunakan untuk menata dan mengatur kehidupan pelayanan dalam gereja.[1] Demikian juga dengan definisi yang diberikan oleh Dr. M. H. Bolkestein, yang menyatakan bahwa hukum gereja merupakan aturan tentang perbuatan dan kehidupan gereja untuk menyatakan gereja sebagai Tubuh Yesus. Namun sesungguhnya, hukum gereja tidak hanya sekadar mengenai peraturan. Cakupan hukum gereja lebih luas dari sekadar aturan, sebab berbicara mengenai pertanggungjawaban teologis dari aturan gereja.
Keberadaan aturan dalam gereja adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Setiap gereja—baik yang baru dirintis maupun yang telah mapan dalam proses pelembagaan—tentunya memiliki aturan untuk menata dirinya. Aturan gereja berhubungan dengan seluruh fase kehidupan setiap anggotanya. Anggota gereja terikat dengan aturan gereja. Aturan gereja menjadi hal yang tidak terhindarkan dalam gereja.
Sebagai hal yang tidak terhindarkan dalam gereja, penyusunan aturan gereja dilandaskan pada hakikat gereja. Proses pelembagaan gereja adalah bagian dari usaha gereja untuk terus mengkontekstualisasikan cerita keselamatan Allah Tritunggal dan mewujudnyatakan karya keselamatan Allah Tritunggal bagi dunia. Usaha ini dilaksanakan oleh gereja hingga sampai pada eskaton. Hakikat gereja ini sekaligus menegaskan bahwa sebagai lembaga gereja tidak dapat disamakan dengan lembaga lainnya, sehingga penyusunan aturan dalam gereja disusun dengan dilandasi pada eklesiologi sebagai rumusan teologis-sistematis mengenai pemahaman gereja tentang dirinya.
Pendasaran eklesiologi menjadikan peraturan-peraturan dalam gereja tidak hanya memiliki makna teologis yang baik, tetapi sekaligus mampu menjawab kebutuhan dan pergumulan hidup jemaat. Eklesiologi selalu berada dalam ruang dan waktu tertentu sebab eklesiologi lahir dalam konteks pergumulan gereja tertentu. Konteks gereja yang berbeda, menghasilkan pemaknaan diri yang juga berbeda. Pemaknaan diri dapat terbentuk dengan baik bila gereja mengenal konteks pelayanannya dengan baik. Jika aturan gereja disusun dengan didasarkan pada eklesiologi, dengan sendirinya aturan gereja hadir dari kebutuhan konteks pelayanannya.
Pendasaran hukum gereja pada eklesiologi berbeda dari pendekatan penataan/pemerintahan (stelsel). Pendekatan penataan memberikan penekanan pada penyusunan aturan gereja yang diteruskan karena tradisi. Sistem penataan yang terpaku pada sistem episkopal, kongregasional, dan presbiterial sinodal, dapat menjebak gereja untuk mempertahankan tradisi tanpa peka terhadap tuntutan perubahan konteks pelayanannya. Tradisi hanyalah salah satu sumber pemaknaan diri gereja (eklesiologi).
Ø  Fungsi
v  Memampukan gereja untuk melayani sesuai dengan hakikat dirinya.
Hukum gereja sebagai salah satu studi teologi yang secara sistematis mengkaji prinsip-prinsip ekklesiologis dari aturan-aturan dalam gereja memampukan gereja untuk menyusun aturan sesuai dengan hekekat dirinya. Pengenalan diri yang baik memampukan gereja untuk tidak dengan mudah untuk mengambil alih aturan-aturan pemerintahan atau lembaga lainnya untuk menyusun aturan gereja.
Gereja tidak hadir karena dirinya dan oleh dirinya. Gereja hadir sebagai karya Allah Tritungal untuk menjalankan misi Allah Tritunggal. Dalam kesadaran ini gereja menata dirinya sehingga mampu melayani sesuai dengan hakikat dirinya. Dari sudut pandang ini terlihat bahwa adanya aturan dalam gereja merupakan sebuah komitmen iman gereja untuk menata diri dan melayani sesuai hakikat dirinya.
v  Membantu gereja untuk mewujudnyatakan kehadirannya.
Pendasaran eklesiologi terhadap aturan dalam gereja menuntut pengenalan konteks pelayanan. Melalui pengenalan konteks pelayanan, kekayaan dan kebutuhan jemaat dapat terbaca dengan jelas. Dengan didasarkan pada pergumulan jemaat inilah gereja menata dirinya. Jabatan, persidangan, relasi, dan hal-hal lain yang diatur oleh aturan gereja disistimatisasikan sesuai pergumulan konteks pelayanan jemaat. Melalui proses ini gereja tidak hanya akan hadir tetapi menyentuh kebutuhan nyata dari anggotanya. Aturan gereja membantu gereja untuk mewujudnyataan kehadirannya.
Ø  Tujuan
Hukum gereja tidak bertujuan pada dirinya sendiri. Pendasaran eklesiologi terhadap aturan gereja memampukan gereja untuk melayani sesuai dengan hekakat dirinya dan dengan demikian gereja menjadi gereja yang nyata. Penataan diri yang sesuai dengan hakikat diri menjadikan proses pembangunan jemaat dapat berjalan dengan baik. Adanya aturan gereja jangan sampai menjadi batu sandungan bagi pembangunan jemaat. Hukum gereja menjadi alat bagi pembangunan jemaat.
Kesimpulan:
Gereja dan negara merupakan dua institusi yang berbeda. Namun keduanya memiliki hubungan yang erat. Jemaat  gereja sekaligus adalah warga negara, oleh karena itu seharusnya terbina hubungan yang baik antara gereja dan negara. Sejarah telah memperlihatkan bahwa gereja yang menguasai negara membawa kepada masa kegelapan gereja. Demikian halnya dengan masa dimana negara menguasai gereja, ini adalah masa yang suram di dalam perkembangan kekristenan. Solusi yang terbaik adalah membiarkan keduanya tetap berbeda namun berjalan dalam terang Firman-Nya. Setiap individu dalam gereja wajib tunduk pada negara, namun pemerintah menjalankan roda pemerintahan sebagai wakil Allah yang dengan hikmat melindungi dan mengusahakan kebaikan warga negaranya.

Comments